Senin, 26 Juli 2010

Wajah Buruk Pendidikan Kita

“Politik pendidikan penguasa adalah suatu cerminan dari kebobrokan pendidikan di negri ini.”

Benny Susetyo merupakan lulusan S2 di Pascasarjana Sekolah Tinggi Filsafat dan Teologi (STFT) Widya Sasana Malang tahun 1996. Sampai saat ini aktif di Forum Kajian Demokrasi dan Hak Asasi Manusia Indonesia serta salah satu pendiri organisasi Pergerakan Manusia Merdeka bersama KH. Abdurrahman Wahid. Pendidikan seyogyanya merupakan pembentuk manusia dari yang tidak beradab menjadi beradab. Sebenarnya buku politik pendidikan penguasa adalah catatan harian si penullis dalam merespons berbagai intrik politik penguasa dalam membuat kebijakan pendidikan.
Pendidikan dalam berbagai bentuk dan cara masih dipercaya sebagai satu-satunya alternatif untuk mengembangkan diri, berkompetisi secara adil, membuka cakrawala berpikir untuk menghindari cara berfikir yang sempit, mencerdaskan pikiran, mempertajam nurani, dan sebagainya.
Pasalnya, di negri ini pendidikan dijadikan lahan bisnis untuk merauk rupiah bagi para penguasa. Selain itu pendidikan dewasa ini hanya dapat dinikmati bagi mereka yang berkantong tebal dan bagi si miskin pendidikan ialah barang mewah yang tidak mukin dapat dinikmati. Padahal mengenai hak pendidikan dan tujuan pendidikan sudah jelas tertera didalam pasal 31 bahwa pendidikan adalah hak semua rakyat dan dalam pembukaan UUD’45 alenia ke 4 mengenai tujuan pendidikan yang mencerdaskan kehidupan bangsa.
Saat ini dunia pendidikan pendidikan Indonesia menghadapi tiga tantangan besar. Pertama, dunia pendidikan dituntut untuk dapat mempertahakan hasil-hasil pembangunan pendidikan yang telah dicapai. Kedua, untuk menghadapi era globalisasi dunia pendidikan dituntut untuk mempersiapkan sumber daya manusiayang kompeten agar bisa bersaing dalam masa era globalisasi. Ketiga, sejalan dengan otonomi daerah, perlu dilakukan perombakan dan penyesuaian sistem pendidikan agar lebih demokratis. Jika saya tarik benang merahnya pemerintah mencoba memenuhi permintaan pasar dimana dibutuhkan segera para pekerja (buruh) bergaji murah guna memenuhi kepentingan para pemegang modal.
Ketika diputuskan bahwa PTN menjadi BHMN, sedikitnya ada tiga alasan atas fenomena tersebut. Pertama, keterbatasan anggaran pendidikan yang disediakan negara kepada masyarakat. Kedua, soal deetatisme yang digembor-gemporkan sebagai jalan menuju otonomi kampus sepenuhnya. Ketiga, soal kapitalisme global yang semakin lama semakin pasti mensyaratkan privatisasi sebagai lembaga milik negara untuk dipersaingkan di tengah pasar bebas.
Satu lagi masalah besar dalam dunia pendidikan adalah mutu pendidikan serta kualitas pengajar. Karena sekolah dengan gedung yang bagus, dan dengan fasilitas yang mencukupi serta memadai bukanlah sebuah jaminan bahwa mutu sekolah itu juga bagus.
Mutu pendidikan serta kualitas dan kwantitas pendidik juga mesti dipertanyakan apakah si pendidik sudah mencapai standar kualitas ataukah belum. Sebenarnya masalah inilah yang paling penting dari masalah lain. Memang dengan fasilitas-fasilitas sekolah yang memadai siswa dapat belajar sendiri.
Faktanya siswa hanya diberikan pendidikan yang sekadarnya, mutu serta kualitas pengajar tidaklah penting. Mereka hanya disiapkan untuk menjadi para pekerja gengerasi baru yang siap diperas serta ditindas oleh para penguasa.
Pendidikan yang berotonomi hanyalah mimpi, tetap saja yang ada hanya sentralisasi pendidikan. Sentralisasi yang setengah-setengah lebih tepatnya, ketika di lapangan masih terjadi tarik-menarik antara kewenangan pusat dan daerah, serta tidak adanya ketidaksiapan secara kelembagaan maupun pelaksanaan kebijakan di daerah. Wajah sentralisasi pendidikan disini adalah seperti kurikulum, standarisasi penilaian, kompetensi siswa, dll.
Gagalnya Kurikulum
Saya mengambil contoh keburukan dari sentralisasi pendidikan ialah kegagalan sistem kurikulum. Dimana kita ketahui kurikulum dibuat oleh pemerintah pusat tanpa ada campur tangan para pendidik daerah. Padahal, merekalah yang melaksanakan kurikulum tersebut serta merekalah yang mengetahui medan lapangannya. Terbukti di lapangan, bahwa tidak semua pendidik mampu melaksanakan apa yang tertera di kurikulum.
Sebenarnya kurikulum tidak banyak berperan besar dalam peningkatan pendidikan. Kurikulum dengan alih-alih penyama rataan standarnisasi pendidikan nasional justru menjadi jurang pemisah antara pendidikan pusat dan daerah. Tetapi apa yang terjadi pemerintah tetap saja menetapkan kurikulum sebagai standar pencerdasan bangsa. Mereka tidak memikirkan lagi tujuan hakiki dari kurikulum.
Catatan tentang polemik Rancangan Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional di tahun 2003 sebagai pengganti UU NO.2 tahun 1989. penolakan besar-besaran atas RUU Sisdiknas melalui unjuk rasa dan berbagai statement ternyata tidak menyurutkan niat penguasa untuk mensahkan UU ini. Kasus inilah yang paling menarik dijadikan sorotan terhadap kegagalan penguasa untuk berbuat adli dan menyingkirkan kepentingan agama, terkait dalam proses pelaksanaan pendidikan yang mencerdeskan.
RUU Sisdiknas yang melahirkan kontroversi telah diabsahkan. Merunut ke belakang, kontroversi itu terutama dipicu adanya masalah pendidikan agama seperti dijelaskan dalam pasal 12 ayat 1 RUU Sisdiknas. Di dalam Bab V tentang Peserta Didik, Pasal 12 ayat 1 tersebut dinyatakan ”setiap peserta didik pada satuan pendidikan merupakan subyek dalam proses pendidikanyang berhak mendapatkan pendidikan agama sesuai dengan agama yang dianutnya dan diajarkan oleh pendidik yang seagama”.
Di dalam isi Bab V ini tersirat dua masalah, yakni pertama, apakah pendidikan agama bisa diberikan oleh guru yang seagama atau cukup guru yang memiliki kompetensi walaupun mereka berbeda keyakinan agama; dan kedua, apakah pendidikan harus diberikan kepada semua jenjang dan jenis pendidikan, atau apakah cukup di beberapa satuan pendidikan tertentu saja.
Kalau kita berusaha jujur atas makna yang sesungguhnya dari adanya sekolah (pendidikan), sebenarnya pendidikan adalah media dalam proses belajar dan mengajar, yang pada intinya adalah sebuah trasformasi nilai atas siswa ataupun masyarakat secara umum. Fungsi yang paling vital dari pendidikan ialah menggugah kesadaran kritis siswanya atau rakyat pada umumnya, sehingga memberikan kedewasaan berfikir, logis, dan mampu membaca serta krisis terhadap perkembangan disekitarnya. Pemaknaan yang seperti ini memberikan ruang eksistensi yang lebih substansif atas pendidikan.itukah mengapa pendidikan berfungsi sebagai media yang efektif dalam mentransformasikan ide-ide bagi terbentuknya kesadaran massif di kalangan masyarakat untuk melakukan perubahan sosial.
Pemaknaan pendidikan yang substansif terkikis oleh realitas kepentingan kekuasaan yang hegemonik. Kemasan pendidikan sengaja di orientasikan demi kepentingan kekuasaan. Realitas ini dapat kita lihat pada negara-negara dunia ketiga, termasuk di negara kita, pendidikan sering kali tereksplorasi dengan sistem negara yang cendenrung mengiginkan adanya penyeragaman dan menjadikan pendidikan sebagai komoditas politik. Kekuasaan sering kali merasa terusik eksistensinya, sehingga perlu mengontrol dan mengarahkan pendidikan pada jalur yang akan mendukung kelanggengan atas kekuasaannya.
Pendidikan kita gagal bukan saja ketika dibandingkan dengan negara lain dalam ukuran-ukuran kuantitatif, melainkan juga secara kualitatif tidak dapat menciptakan manusia yang berbudi luhur, merdeka dengan gagasannya. Meski kita telah merdeka setengah abad lebih namun kemerdekaan itu hanyalah sebuah topeng.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar