Minggu, 05 Desember 2010

Membedah Sukarno Muda


Oleh : Harris Malikus M*

Peter Kasenda seorang Sarjana Sastra Universitas Indonesia dalam skripsinya yang diujikan tahun 1987 berhasil menemukan kepiawaian, strategi teknis seorang anak bangsa. Lewat bukunya “Sukarno Muda, Biografi Pemikiran 1926-1933” mencoba mengurai segenap benang merah terbentuknya nation−Indonesia.

Siapa tidak mengenal Soekarno? Seorang proklamator sekaligus founding fathers Indonesia. Begitu banyak buku dan essay mengenai sang orator ini. Adanya pembabakan pemikiran Soekarno menjadi ciri khas buku ini. Sebagai seorang yang sering menulis tentang Soekarno sedari duduk di bangku kuliahan Kasenda, melihat bahwa kepiawaian Soekarno dalam mempersatukan ideology sebagai momentum lahirnya kesadaran akan pentingnya merdeka dari Belanda.

Soekarno muda memulai kariernya pada usia 25 tahun di Algemeene Studi Club –sebuah kelompok studi. Pada tahun 1926/27 tulisannya yang berjudul Nasionalisme, Islamisme, dan Marxisme di muat dalam Soeloeh Indonesia Moeda.Usianya yang tergolong lebih tua ketimbang Hatta yang pada usia 16 tahun sudah menjadi Bendahara Jong Sumatranen Bond di Padang, Semaun yang pada usia 18 tahun sudah menjadi seorang ketua Syarikat Islam, serta Tan Malaka yang pada usia 20 sudah menjai ketua PKI, tidak membuat semangat seorang Soekarno kendor.

Nasionalisme, Islamisme, dan Marxisme adalah salah satu ide pokok Soekarno sebagai seorang sinkretisme. Pemersatu berbagai ideologi dengan pertimbangan konteks sosial masyarakat di Indonesia. Latar belakang yang menjadikan Soekarno membuat tema diatas sebagai kegelisahannya atas timbulnya berbagai perselisihan akibat ketiga ideologi ini.

Semisal, SI yang pecah dengan PKI. PKI dianggap terlalu mementingkan intenasionale Komunis, sedangkan SI dianggap PKI sebagai sarang atau kiblat perjuangan Pan-Islamisme, sehingga keduanya terpecah. Kendati demikian lewat nasionalismenya Soekarno berusaha mendamaikan ketiga aliran tersebut.

Massa aksi untuk Mactshvorming

Perjuangan lewat mengumpulkan aksi massa dan berpidato, serta menggelar rapat rapat akbar di halaman terbuka menjadi ciri khas perjuaangan yang dilakuakan oleh Soekarno. Kebenciannya kepada Imperialisme modern serta kolonialisme Belanda membuatnya tegas dalam perjuangan.

Perjuangan akan berhasil apabila kekuatan massa aksi sudah terdidik dan sering melakukan rapat besar, yang nantinya akan menjadi teror bagi pemerintahan Hindia Belanda. Teror – teror tersebut kemudian akan berubah menjadi kekuasaan politik bagi golongan pribumi, yang dalam konsep Marxian diterjemahkan menjadi Mactshvorming.

Garis politik perjuangan Soekarno adalah lewat perjuangan non-kooperasi dengan tidak duduk dalam Volksrad serta menggalang kuatnya kerumunan massa yang siap menumpas dan mengusir penjajah dari negeri Indonesia.

Keyakinannya akan garis politik tersebut di sampaikan pada sidang umum Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara (MPRS) tahun 1966. “Dalam keadaan bagaimanapun sulitnya, saya ulangi bagaimanapun sulitnya, jangan sekali kali melepaskan self-realience. Percaya pada kekuatan sendiri. Jiwa self-help, atau dinamakan jiwa berdikari.... yang ditolak oleh berdikari adalah ketergantungan terhadap Imperiaisme. Berdikari bukan hanya tujuan tetapi tidak kurang adalah cara kita mencapai tujuan itu−prinsip untuk melakukan pembangunan dengan tidak menggunakan dana bantuan negara atau bangsa lain.”

Marxisme telah memberikan pisau tajam analisis sosial masyarakat Indonesia bagi Soekarno. Untuk itulah cita-citanya yang luhur adalah bagaimana Indonesia bisa merdeka. Selanjutnya Indonesia merdeka adalah salah satu gerbang emas untuk mencapai keadilan kesejahteraan bersama. Sama rata, sama bahagia.

Uraian Kasenda tentang pemikiran Soekarno dan pemikiran politiknya berhenti pada soal cita-cita luhur Soekarno untuk mempersatukan bangsa Indonesia dibawah satu panji ‘Nasionalaisme’ agar rakyat Indonesia dalam perjuangannya tidak lagi mudah untuk di pecah belah oleh Imperialisme modern yang selalu menggunakan taktik licik politk “adu domba.”

Membaca buku ini seoalah membedah gagasan radikal soal kebangsaan dan kepercayaan diri sebagai Indonesia. Indonesia yang dalam masa kapitalisme global seolah menghadapi banyak musuh yang abstrak. Pasalnya, musuh abstrak nan absurd yang dihadapi sekarang ini hanyalah sebuah transformasi Imperialisme dan Kolonialisme zaman belanda menjadi Neo-Kolonialisme dan Imperialisme (Nekolim).

Membedah Sukarno Muda

Oleh : Harris Malikus M*

Peter Kasenda seorang Sarjana Sastra Universitas Indonesia dalam skripsinya yang diujikan tahun 1987 berhasil menemukan kepiawaian, strategi teknis seorang anak bangsa. Lewat bukunya “Sukarno Muda, Biografi Pemikiran 1926-1933” mencoba mengurai segenap benang merah terbentuknya nation−Indonesia.

Siapa tidak mengenal Soekarno? Seorang proklamator sekaligus founding fathers Indonesia. Begitu banyak buku dan essay mengenai sang orator ini. Adanya pembabakan pemikiran Soekarno menjadi ciri khas buku ini. Sebagai seorang yang sering menulis tentang Soekarno sedari duduk di bangku kuliahan Kasenda, melihat bahwa kepiawaian Soekarno dalam mempersatukan ideology sebagai momentum lahirnya kesadaran akan pentingnya merdeka dari Belanda.

Soekarno muda memulai kariernya pada usia 25 tahun di Algemeene Studi Club –sebuah kelompok studi. Pada tahun 1926/27 tulisannya yang berjudul Nasionalisme, Islamisme, dan Marxisme di muat dalam Soeloeh Indonesia Moeda.Usianya yang tergolong lebih tua ketimbang Hatta yang pada usia 16 tahun sudah menjadi Bendahara Jong Sumatranen Bond di Padang, Semaun yang pada usia 18 tahun sudah menjadi seorang ketua Syarikat Islam, serta Tan Malaka yang pada usia 20 sudah menjai ketua PKI, tidak membuat semangat seorang Soekarno kendor.

Nasionalisme, Islamisme, dan Marxisme adalah salah satu ide pokok Soekarno sebagai seorang sinkretisme. Pemersatu berbagai ideologi dengan pertimbangan konteks sosial masyarakat di Indonesia. Latar belakang yang menjadikan Soekarno membuat tema diatas sebagai kegelisahannya atas timbulnya berbagai perselisihan akibat ketiga ideologi ini.

Semisal, SI yang pecah dengan PKI. PKI dianggap terlalu mementingkan intenasionale Komunis, sedangkan SI dianggap PKI sebagai sarang atau kiblat perjuangan Pan-Islamisme, sehingga keduanya terpecah. Kendati demikian lewat nasionalismenya Soekarno berusaha mendamaikan ketiga aliran tersebut.

Massa aksi untuk Mactshvorming

Perjuangan lewat mengumpulkan aksi massa dan berpidato, serta menggelar rapat rapat akbar di halaman terbuka menjadi ciri khas perjuaangan yang dilakuakan oleh Soekarno. Kebenciannya kepada Imperialisme modern serta kolonialisme Belanda membuatnya tegas dalam perjuangan.

Perjuangan akan berhasil apabila kekuatan massa aksi sudah terdidik dan sering melakukan rapat besar, yang nantinya akan menjadi teror bagi pemerintahan Hindia Belanda. Teror – teror tersebut kemudian akan berubah menjadi kekuasaan politik bagi golongan pribumi, yang dalam konsep Marxian diterjemahkan menjadi Mactshvorming.

Garis politik perjuangan Soekarno adalah lewat perjuangan non-kooperasi dengan tidak duduk dalam Volksrad serta menggalang kuatnya kerumunan massa yang siap menumpas dan mengusir penjajah dari negeri Indonesia.

Keyakinannya akan garis politik tersebut di sampaikan pada sidang umum Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara (MPRS) tahun 1966. “Dalam keadaan bagaimanapun sulitnya, saya ulangi bagaimanapun sulitnya, jangan sekali kali melepaskan self-realience. Percaya pada kekuatan sendiri. Jiwa self-help, atau dinamakan jiwa berdikari.... yang ditolak oleh berdikari adalah ketergantungan terhadap Imperiaisme. Berdikari bukan hanya tujuan tetapi tidak kurang adalah cara kita mencapai tujuan itu−prinsip untuk melakukan pembangunan dengan tidak menggunakan dana bantuan negara atau bangsa lain.”

Marxisme telah memberikan pisau tajam analisis sosial masyarakat Indonesia bagi Soekarno. Untuk itulah cita-citanya yang luhur adalah bagaimana Indonesia bisa merdeka. Selanjutnya Indonesia merdeka adalah salah satu gerbang emas untuk mencapai keadilan kesejahteraan bersama. Sama rata, sama bahagia.

Uraian Kasenda tentang pemikiran Soekarno dan pemikiran politiknya berhenti pada soal cita-cita luhur Soekarno untuk mempersatukan bangsa Indonesia dibawah satu panji ‘Nasionalaisme’ agar rakyat Indonesia dalam perjuangannya tidak lagi mudah untuk di pecah belah oleh Imperialisme modern yang selalu menggunakan taktik licik politk “adu domba.”

Membaca buku ini seoalah membedah gagasan radikal soal kebangsaan dan kepercayaan diri sebagai Indonesia. Indonesia yang dalam masa kapitalisme global seolah menghadapi banyak musuh yang abstrak. Pasalnya, musuh abstrak nan absurd yang dihadapi sekarang ini hanyalah sebuah transformasi Imperialisme dan Kolonialisme zaman belanda menjadi Neo-Kolonialisme dan Imperialisme (Nekolim).