Selasa, 31 Agustus 2010

TUA TAK LEKANG DITERPA ZAMAN



Karl Heinrich Marx lahir di Trier, sebuah kota di kawasan Rheiland Jerman (Prusia), dekat perbatasan dengan Prancis pada 5 Mei tahun 1818. Kedua orang tuanya adalh keturunan pendeta-pendeta Yahudi. Ayahnya, Heinrich Marx termasuk golongan menengah dan menjadi pengacara ternama. Sedangkan ibunya adalah puteri dari seorang pendeta Yahudi dari Belanda. Marx jebolan Universitas Hukum Bonn dan di dalam masa ini bakat filsafatnya mulai muncul. Di Berlin inilah Marx menjadi seorang hegelian (Club Young Hegelian). Anggota Hegelian adalah para pelajar yang mengkajiajaran-ajaran Hegel yang saat itu menjadi dogma dan ideology resmi di Jerman.

Setelah menyelesaikan gelar Ph. D dalam filsafat pada tahun 1841 di Bonn, Berlin, dan Jena. Maka dari sinilah karier Marx dimulai. Pemikiran Karl Marx merupakan adopsi antara filsafat Hegel, French, dan tentunya pemikiran dari David Ricardo (pemikir teori ekonom klasik). Bahkan Marx muda merupakan seorang hegelian. Analisa Karl Marx tentang kapitalisme merupakan aplikasi dari teori yang dikembangkan oleh G.W.F Hegel, dimana teorinya berpendapat jika,”sejarah berproses melalui serangkaian situasi dimana sebuah ide yang diterima akan eksis, tesis. Namun segera akan berkontradiksi dengan oposisinya, antitesis. Yang kemudian melahirkanlah antitesis, kejadian ini akan terus berulang, sehingga konflik-konflik tersebut akan meniadakan segala hal yang berproses menjadi lebih baik”.

Marx juga pernah menjadi seorang dosen di Universitas Bonn tetapi tidak lama. Lalu ia beralih menjadi seorang wartawan dan menerbitkan sebuah majalah yang di beri nama ”Rheinissche Zeitung”. Tetapi kareana di nilai terlalu radikal oleh pemerintahan Jerman saat itu maka Marx hendak ditangkap tetapi dia berhasil melarikan diri ke Prancis. Saat di Prancis Marx berkenalan tentang pemikiran revolusi karena Prancis saat itu merupakan negara terliberal. Selain itu marx juga belajar tentang penderitaan.

Pada tahun 1844 marx berkenalan dengan Fredrick Engels yang merupkan seorang sosialis dari London. Awal pesahabatan abdi antara Karl Marx-Engels ditandai dengan penulisan buku bersama yang berjudul ” Die Heiligie Familie ” (The Holy Family). Selain buku tersebut Marx dan Engels juga menerbitkan buku ”Das Capital” yang merupakan dasar dari ekonomi modern. Intisari buku tersebut berisikan antara lain :

  1. pengahapusan kekayaan tanah dan menerapkan sewa tanah bagi tujuan-tujuan publik.

    2. pengenaan pajak pendapat (tax income) yang bertingkat.

    3. pengapusan seluruh hak-hak warisan.

    4. penarikan kekayaan seluruh emigran dan para penjahat atau pemberontak.

    5. sentralisasi kredit pada negara melalui bank nasional dengan modal negara dan monopoli yang bersifat eksklusif.

    6. sentralisasi alat-alat komunikasi, dan transportasi di tangan negara.

    7. perluasan pabrik dan alat-alat produksi yang dimilki oleh negara, menggarap tanah yang tanah, dan meningkatkan guna tanah yang sesuai dengan perencanaan umum.

Tujuh butir pemikiran pokok itu bersumber kepada teori nilai lebih yang di gunakan para kaum kapital sebagai alat pengeruk keuntungan. Dengan teori itu para pemilik modal dapat mendapatkan laba sebanyak-banyaknya dengan modal yang terbilang kecil. Dengan cara penmerasan terhadap para pekerjanya. Pemerasan tenaga dan kehidupan si pekerjanya. Teori tentang nilai lebih menyikap apa yang oleh Marx di sebut rahasia perekonomian kapitalis.

Sebagai salah seorang filsuf juga Marx banyak memperhatikan tentang kehidupan sosial di sekitarannya. Kemudian mulailah Marx memasuki dunia sosiolog. Konsentrasi pembahasannya adalah tentang ketertindasan masyarakat bawah (proletar) oleh kaum pemodal (kapitalis) serta, dampak ketertindasan tersebut bagi kehidupan mereka. Marx berkesimpulan bahwa segala sesuatu berawal dari faktor ekonomi. Ekonomilah yang mengawali kehidupan manusia menjadi seperti sekarang tergolong menjadi beberapa kelas sosial.

Marx juga membahas tentang Hak Milik Pribadi. Bagaimana keterasingan manusia dapat di akhiri dan manusia dijadikan utuh kembali seperti masa yang lalu. Marx membedakan tiga tahap umat manusia. Tahap pertama adalah masyarakat purba sebelum pembagian kerja dimulai. Seperti yang di trangkan di atas. Tahap kedia adalah tahap pembagian kerja sekaligus tahap hak milik pribadi dan tahap keterasingan. Tahap letiga adalah tahap kebebasan, yaitu apabila hak milik pribadi sudah dihapus. Jadi sitem hak milik pribadi bukanlah sebuah ”kecelakaan” sejarah melainkan tahap yang pasti dalam perjalanan umat manusia menuju tahap yang ketiga.

Sebelum kita mengenal sistem masyarakat kita yang seperti ini (stratifikasi) dahulu masyarakat kita hidup bersama-sama dan untuk tujuan yang sama. Dalam kehidupannya tidak ada perbedaan serta ketimpangan atau pengklasifikasian. Kehidupan seperti ini di sebut dengan kehidupan komunal primitif. Lalu pada masa bercocok tanam mulailah dalam kehidupannya manusia sudah mengenal pmbagian tugas serta jabatan dalam kehidupannya. Contohnya dalam suatu kelompok terdapat orang-orang yang ahli dalam berburu, ahli berfikir (strategi), kepercayaan (animisme), dsb. Disinilah sebenarnya awal dari penggolongan manusia di lihat dari kedudukannya dalam bermasyarakat. Yang kemudian berkembang menjadi lebih kompleks pada masa perundagian hingga feodalisme dan seterusnya hingga kini.

Dalam perjalanan kariernya marx banyak melakukan kritik. Salah satu kritiknya yang terkenal adalah keritiknya terhadap agama. Marx mengkritik bahwa agama adalah ”candu bagi masyaraka”t. Mengapa demikian? Karena agama dinilai hanya sebagai alat penghibur seseorang dalam keadaan sedang kesusahan. Singkatnya Marx mengkritik sikap manusia yang jika sedang dalam kesusahan berlari menghadap tuhannya dan jika sedang senang lupa akan tuhannya. Maka dari itu agama di anggap seperti candu yang sifatnya dapat memabukan dan hanya menghibur semata. Tentu kritik ini disesuaikan dengan keadaan lingkunagn masyarakat Marx pada saat itu. Jika kita refleksikan atau kita samakan dengan kehidupan masyarakat kita masa sekarang tentu tidak jauh berbeda. Dimana masyarakat kitapun banyak yang seperti itu. Tetapi kita pun tak boleh menyalahkan mereka yang seperti itu karena agama adalah urusan kita dengan tuhan kita masing-masing.

Selain kritik tentang agama Marx juga melakukan kritik terhadap Negara. Bagi Marx adanya negara membuktikan bahwa manusia terasing dari kesosialannya (kemasyarakatan) karena andaikata manusia sosial dengan sendirinya, tidak perlu ada negara yang memaksanya agar mau besifat sosial. Singkatnya manusia adalah makhluk yang secara hakiki adalah makhluk sosial. Karena itu rasa sosial manusia haruslah timbul dari dirinya sendiri dan negara tidak perlu ikut campur dalam rasa kesadaran bersosial manusia. Jadi keterasingan dasar manusia adalah keterasingannya dari sifat yang sosial. Tanda dari keterasingan itu adalah eksistensi atau peran negara sebagai lembaga dari luar memaksa individu untuk bertindak sosial sedangkan, individu itu sendiri semata-mata bersifat egois. Masih banyak lagi pemikiran-pemikiran Marx yang lain dan jika di tuliskan akan memakan kertas yang menjuntai panjang. Ini semua hanyalah sedikit dari pemikiran tua yang revolusioner tak lekang di terpa zaman.

Minggu, 15 Agustus 2010

UNTUK NURLAILA



Wanita berumur 23 Tahun itu baru saja bangun dari mimpi, muka lebam dan garis ceplakan tikar yang menjadi alas tidurnya jelas terlihat.Dirambutnya yang bergelombang terdapat kapas yang menempel.Tubuhnya yang tak mencapai 50 kilogram dengan mudah diangkat dari tempat tidurnya.
Langkahnya cepat saat menuju kamar mandi sembari menyalakan kompor subsidi dari pemerintah untuk memasak air.Satu cidukan air cukup untuk membuat wajahnya menjadi segar. Dia bergegas membangunkan anaknya lalu dibopong menuju kamar mandi. Setelah basah dan tercium wangi, dia mengambil pakaian yang masih kaku dari lemari reotnya itu. Tas beserta isinya yang sudah dipersiapkan dari malam hari diambilnya kemudian dengan cekatan memakaikan sepatu bercorak hitam yang kemarin dibelinya ke kaki mungil anaknya.
Teriakan tukang sayur mengusik telinga wanita yang bernama nurlaila itu. Dibelinya sebungkus daging olahan untuk sarapan anaknya. Nurlaila yakin dengan asupan gizi yang baik akan membentuk pola pikir yang cerdas untuk anaknya. Meskipun gizi yang baik itu hanya bisa dipenuhi sehari dalam sebulan mereka bersantap. Dikeluarkannya sepeda yang akan membawa dirinya dan anaknya menuju sekolah dasar negeri yang berjarak satu kilometer dari rumahnya. Ayunan kaki pada sepeda nurlaila menyiratkan harapan di setiap dayuhan yang digerakannya. Harapan di tahun ajar baru agar anaknya menempuh pendidikan hingga sampai perguruan tinggi, tidak seperti ibunya yang hanya lulus sekolah menengah pertama.Dan hanya bekerja sebagai pedagang sayur.
Satu lagi, dunia pendidikan memiliki wajah baru. Wajah baru dengan harapan lama terhadap pendidikan. Pendidikan masih dipercaya menjadi alat perubahan, tapi yang diilhami masyarakat dari zaman colonial sampai reformasi pendidikan hanya sebagai alat perubah status sosial.
Begitu pula nurlaila, dia menganggap jika anaknya sampai bisa menikmati pendidikan hingga tinggi akan menjamin kesejahteraan hidupnya. Meski harus dibayar dengan kerja keras utnuk memperoleh itu semua. Oleh sebab itu nurlaila yakin dengan ini semua anaknya tidak akan merasakan kehidupan sepertinya. Seorang janda yang menikah di usia muda akibat hubungan bebas,lantas diceraikan suaminya dan kini dia hidup bersama Bapak,Ibu dan anaknya.
Sekolah tidak menjamin akan lunturnya moral dan prilaku manusia didalamnya. Karna pendidikan moral hanya dilakukan secara tekstual dengan cara mencatat dan menghafal. Pendidikan moral yang seharusnya tidak terbatas pada pola pengajaran dapat ditekankan dengan mengetahui apa yang menyebabkan moral suatu masyarakat bertransformasi. Dengan melakukan pendekatan sebab-akibat sesuai dengan kompetensi masyarakat sekarang.
Kemiskinan dijadikan penyebab sulitnya tercipta tatanan masyarakat yang kondusif. Sedangkan malas dijadikan alasan seseorang menghakimi ketidakadilan yang sedang terjadi di era konsumerisme ini. Oleh sebab itu pendidikan tercipta bukan hanya untuk mencetak mesin dengan upah yang terspesialisasi pada jenjang pendidikan tertentu. Telah mengenyam pendidikan paling tinggi, dengan jumawa seseorang telah mapan dalam kehidupan dan menjadi penghisap bagi mereka yang masih berada dibawah kesejahteraan.
Interaksi sosial dibutuhkan dalam proses pendidikan. Pembentukan kesadaran akan tanggungjawab manusia yang berpendidikan terhadap sesamanya merupakan tujuan hakiki dari sebuah nilai moral. Pancasila sebagai paham Negara-bangsa Indonesia ini jangan hanya dijadikan alat politis. Melainkan sebuah pedoman hidup dalam bertindak ditanah yang yang telah mempertemukan imperialisme lama hingga baru.
Harapan nurlaila tidaklah lebih.Nurlaila hanyalah korban pencitraan kegagalan dalam membangun tatanan pendidikan yang kritis.Pendidikan bagi nurlaila dan anaknya adalah pendidikan yang mengembalikan kemanusiannya.
Oleh : Satrio*
*Aktif Di Forum Diskusi Gerak Sejarah (GESER)

Jumat, 06 Agustus 2010

Pendidikan berbasis kapitalis tak berkualitas mematikan rasa “memanusiakan manusia”


Seminggu yang lalu kulkas dirumah saya rusak. Suhu lemari pendingin itu tak bisa saya atur sebagaimana mestinya. Bapak saya yang gemar minum air dingin jadi gemas mendapati kulkas kesayangaannya rusak. Beliau memanggil tukang servis kulkas ke rumah. Pria itu mungkin usianya sama dengan Bapak saya.
Sambil membetulkan, dia mulai bercerita. Dari mulai membandingkan mesin kulkas zaman dahulu dengan sekarang, hingga pemerintahaan. Aku sempat terdiam ketika mendengarnya berbicara begini, “Pemerintah zaman SBY itu semua serba mahal terus juga banyak masalah. Rakyat kecil makin kecil. Banyak gas bocor. Untung rakyat banyak yang teriak, nunggu ada korban dulu baru bertindak,” ujarnya dengan logat khas batak.
Tambahnya lagi, SBY hanya sedang menggali harta sebelum pensiun, dia tak mau mempersoalkan yang lain-lain yang penting posisinya selalu aman. Makanya kasus century tak akan membawa perubahan dikalangan pemerintah. Dari sini saya bisa melihat bahwa persoalan apapun yang terjadi saat ini sungguh besar imbasnya tak peduli dari kalangan apapun yang pasti hal ini dapat menggugah kesadaran semu yang selama ini terpendam akibat orde baru. Pendapatannya yang semakin pas-pasan karena harga-harga mulai naik mengubah cara berpikirnya. Terkadang kita yang merasa pendidikan dan hidupnya sudah layak selalu meremehkan orang seperti ini. Memasuki abad 21 ini, seiring perkembangan teknologi maka perkembangan cara manusia saat ini cenderung radikal. Tema-tema demokrasi yang selalu dijunjung makin naik pamor. Semua orang bisa teriak sekencang-kencangnya. Tapi rasanya pemerintahan saat ini sudah tuli karena disumpal uang.
Suatu saat ketika suara sudah tak lagi didengar, jangan heran jika kejadian-kejadian 98’ akan terulang. Perlu diingat “Mereka (semua orang tak perduli berasa dari kalangan apapun) merasakannya loh!”. Kesadaraan itu perlahan muncul seiring banyaknya kebijakan-kebijakan yang tak berpihak kepada mereka. Walaupun masih dalam lingkup mengharapkan ekonomi perjuangan yang bisa meringankan hidupnya.
Saat ini mereka dibutakan oleh sistem pendidikan “robot”. Sisa-sisa NKK/BKK terus dilestarikan dengan metode-metode baru. Mahasiswa terkungkung dengan apa yang mereka terima dibangku kuliah. Pendidikan didesa-desa hanya sebatas pengetahuan umum dan dijauhkan dari budaya lokal. Menciptakan “Mafia Berkeley” baru yang tak cinta tanah air yang ketika pulang kedalam negeri menjadi “penindas-penindas baru” karena bangga akan ilmunya. Saya teringat ucapan temannya saya, “Tuhan menciptakan pria dan wanita, dan semua orang pada dasarnya sama. Tapi Tuhan tak menciptakan orang malas dan pintar, rajin atau bodoh karena semua itu dibentuk dari apa yang mereka terima”. Persis seperti halnya pendidikan saat ini. Menciptakan “Robot” baru yang tak punya perasaan dan kesadaran akan kehidupannya sebagai manusia. Menciptakan “budak-budak” baru dalam dunia pekerjaan atau “pemeras-pemeras kecil“ yang meresahkan rakyat. Tak heran rakyat Indonesia masih terkungkung cara berpikir yang salah, orang miskin tak boleh sekolah, orang miskin tak boleh sakit karena terlalu mahalnya “hidup layak” dinegara ini.
Tapi rasanya kita mulai berbangga bahwa kesadaran itu masih ada. Tinggal bagaimana ada sosok yang bisa membawa dan meluruskan jalan rakyat untuk menyampaikan aspirasinya kepada pemerintah. Untuk mewujudkan perubahan social juga diperlukan sosok “superhero” untuk memimpin rakyat. Sebagai mahasiswa, ini merupakan tanggungjawab yang wajib diselesaikan. Seperti yang terkandung dalam salah satu Tri Dharma Pendidikan, yang salah satu nya pengabdian pada masyarakat.
Banyak pembesar dinegara ini, tapi tak ada sosok pemimpin yang dapat memimpin masyarakat. Bukan reformasi lagi yang bisa diharapkan, tapi sebuah revolusi. Mahasiswa yang katanya sebagai intelektual muda harusnya bisa melakukan itu. Tapi dengan bentukan sistem pendidikan yang sekarang apakah bisa?!

oleh rizki rakita*

mahasiswi pendidikan bahasa dan sastra jepang 2009
- simpatisan Forum Diskusi Gerak Sejarah

Selasa, 03 Agustus 2010

Pancasila, dari Trauma ke Persatuan Anti-Neoliberal

De-Sukarnoisasi ala Orde Baru

"Lahirnya Pantjasila, Membangun Dunia Kembali, dan Penfjelasan Manipol/Usdek adalah merupakan rangkaian jang sangkut bersangkut untuk harus kita ketahui dalam alam sekarang ini jaitu untuk menudju masjarakat Sosialis Indonesia."

(Kutipan dari Buku "Seri Tanja-Djawab Buku2 Manipol: 260 Tanja Djawab Lahirnja Pantjasila, Membangun Dunia Kembali (to build the world new), Pendjelasan Manipol-Usdek" . Penerbit Miswar Djakarta, tjetakan pertama, 1965" hal. 7)

Banyak kamerad di kalangan kaum gerakan dan intelektual yang cukup kaget saat mengetahui Pancasila coba diangkat Partai Rakyat Demokratik (PRD) dari "lumpur kenistaan" ke tempat yang lebih bersih, terang dan tinggi. Sebagiannya malah keblinger, menuduh PRD sudah bergeser ke sebelah kanan, PRD sudah ditunggangi intelejen negara, PRD akan menjadi organisasi reaksioner, PRD akan melakukan penataran P4 seperti layaknya di zaman kegelapan dahulu, dan lain-lain dan sebagainya. Namun, semua itu justru menyiratkan pendeknya ingatan kolektif rakyat kita tentang Pancasila. Sangat disayangkan hanya Pancasila yang "kanan", Pancasila yang "pembunuh", dan Pancasila yang "bengis" a'la Jenderal Suharto yang masih diingat, bukan Pancasila yang sesuai keinginan sang penggali Ir. Sukarno: Pancasila yang kiri.

Stigma kanan Pancasila diperoleh dari hasil pendistorsian panjang Orde Baru. Karena banyak aktivis dan intelektual oposan kerap menjadi "korban" represi/intimidasi dari kelompok-kelompok yang mengklaim membela Pancasila, maka adalah wajar jika rasa trauma terhadap segala yang berbau Pancasila atau asas tunggal masih agak lekat. Mimpi buruk selama Orde Baru ini belum ditinggal, masih dibawa-bawa sehingga menjadi beban psikologis (semacam mental blocking) sampai sekarang.

Bukan salah kaum muda yang lahir di zaman Orde Baru jika mereka tak mampu mengingat Pancasila-nya Ir. Sukarno. Yang salah tetap adalah Jenderal Suharto yang telah mendistorsi esensi Pancasila selama 32 tahun (1965-1998).
Selama itu pula Pancasila tampil dalam raut wajah yang bengis dan kejam. Namun, seperti kita menghadapi penyakit-penyakit mental umumnya, trauma yang diderita akibat Pancasila Orde Baru tidak boleh dipersalahkan, apalagi dihakimi, yang seharusnya dilakukan adalah mengobatinya (healing).

Jika diurai, sebenarnya trauma terhadap Pancasila berakar pada dua hal sebagai berikut:

1. Devide et impera antara Pancasila dengan Kaum Kiri

Pada pertengahan tahun 1965-1967, selagi Jenderal Suharto tengah melakukan "kudeta merangkak" (creeping coup, pen: baca buku terbaru John Roosa tentang Dalih Pembunuhan Massal), ia menyempatkan menetapkan tanggal 1 Oktober 1965 sebagai Hari Kesaktian Pancasila melalui Surat Keputusan Menteri/Panglima Angkatan Darat tanggal 17 September 1966 (Kep 977/9/1966). Narasi tunggal yang hendak didesainnya saat itu adalah seakan-akan Pancasila sebagai dasar negara berusaha diserang oleh kaum kiri, dan ia adalah satu-satunya pahlawan penyelamat Pancasila. Dengan dalih penyelamatan tersebutlah, Jenderal Suharto seperti mendapat restu untuk membunuh secara massal ratusan ribu sampai jutaan kaum kiri di Indonesia hanya dalam waktu 3 tahun. Kesuksesan adu domba tersebut diteruskan untuk selama masa 32 tahun berikutnya, di mana Pancasila selalu dijadikan momok untuk membungkam sisa-sisa kaum kiri (yang selamat dari pembunuhan massal atau bebas dari penjara/kamp kerja paksa) ataupun kaum kiri baru yang lahir di era 1980an (seperti PRD). Maka dari itu, kita boleh saja untuk ke depannya membulatkan tekad, mengusulkan untuk pergantian nama tanggal 1 Oktober dari Hari Kesaktian Pancasila menjadi Hari Kesaktian Orde Baru.

2. Pembohongan Asal-Usul Pancasila

Sebuah kebohongan pun jika dipropagandakan ribuan kali dapat bermutasi menjadi sebuah kebenaran publik. Itu adalah teknik dari Menteri Propaganda Nazi Jerman Goebbels yang biasa disebut "Big Lie", yang ternyata dipraktekkan dengan sangat baik oleh Jenderal Suharto di Indonesia selama 32 tahun pemerintahannya. Kebohongan/distorsi terutama dari Jenderal Suharto adalah tentang tanggal lahir dan penggali sejati Pancasila, yang dipropagandakan intensif melalui Pelajaran Sejarah dan Perjuangan Bangsa (PSPB) dan penataran-penataran Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila (P-4). Orde Baru menyebut, bahwa tanggal 18 Agustus 1945 adalah hari lahir Pancasila dan Mr. Mohammad Yamin adalah penggalinya. Padahal yang sebenarnya adalah Pancasila lahir pada tanggal 1 Juni 1945 dan Ir. Sukarno adalah penggalinya. Jelas sekali ini adalah upaya de-Sukarnoisasi yang "sistemik". Meski kemudian kebohongan ini sempat dibantah oleh testament Dr. Mohammad Hatta pada tahun 1976 , Orde Baru tetap tidak bergeming hingga Reformasi menggulingkannya. Baru setelah itu penataran P-4 dibubarkan, PSPB dicabut, dan sebagainya.

Dapat dirangkai dari kedua akar di atas, bahwa trauma terhadap Pancasila sejatinya disebabkan oleh mega proyek de-Sukarnoisasi Orde Baru.
Taktik Orde Baru ini pun bukan tanpa alasan yang strategis, mengingat betapa kuatnya persatuan antara kaum kiri bersama Ir. Sukarno menjelang 1965. Pada masa itu kaum kiri adalah pendukung sejati Ir. Sukarno, karenanya untuk melumpuhkan politik Ir. Sukarno, kaum kiri harus dipisahkan darinya dan dihabisi terdahulu. Barulah Ir. Sukarno menjadi lemah dan mudah digulingkan, setelah terlebih dahulu diisolasi dari rakyat yang menjadi energi perjuangannya sejak muda.

Akhirnya sejarah mencatat, bahwa Pancasila yang awalnya dilahirkan Ir. Sukarno untuk memerangi imperialisme dan kolonialisme, berdistorsi menjadi alat yang digunakan Jenderal Suharto untuk tanpa keadilan mempersilahkan datangnya penjajahan gaya baru selama 32 tahun dan tanpa kemanusiaan menghabisi lawan-lawan politiknya.

Pancasila untuk Persatuan Anti Neoliberal

"Lima Sila ini kalau disatukan menjadi kepal akan menjadi tinju untuk meninju imperialis, lawan-lawan bejat, lawan-lawan kemerdekaan, penjajah yang menjajah Indonesia. Ini kepal rakyat Indonesia yang bersatu!"

(Cuplikan pidato Soemarsono, pimpinan Pemuda Republik Indonesia dan kader Partai Komunis Indonesia (PKI) ilegal pada tanggal 21 September 1945 di tengah RAPAT SAMUDERA yang dihadiri 150 ribu massa Marhaen di Stadion Tambaksari. Dikutip dari Buku Revolusi Agustus, Kesaksian Seorang Pelaku Sejarah, penerbit Hasta Mitra, 2008, hal. 37)

Obat dari trauma rakyat terhadap Pancasila hanyalah pembangkitan kembali ingatan kolektif perjuangan rakyat merebut (kembali) kedaulatan nasional sepanjang periode 1945-1965. Ingatan suram tentang Pancasila yang "reaksioner" di masa Orde Baru harus ditinggalkan, sedangkan ingatan tentang Pancasila yang "revolusioner" di masa Ir. Sukarno harus terus menerus digali kembali.

Pancasila yang akan kita emban bukanlah Pancasila-nya Orde Baru yang mengizinkan ExxonMobil, Freeport, Chevron, Rio Tinto, Inco, Vico, BHP Billiton, Thiess, ConocoPhilips, GoodYear, Total, Newmont, dll menjajah kekayaan alam bangsa. Pancasila yang kita ingin munculkan kembali adalah yang digunakan oleh Ir. Sukarno sebagai "pembenaran" untuk menasionalisasi perusahaan-perusahaan Belanda, mengusir modal asing yang menghisap jauh-jauh dari bumi Indonesia (dengan atau tanpa ganti rugi). Jika dikontekstualisasi ke zaman ini mungkin tidak akan jauh berbeda: bukan Pancasila yang mengabdi kepada rezim neoliberalisme, tetapi Pancasila yang mendamba akan kedaulatan nasional sepenuhnya demi keadilan sosial seluas-luasnya menuju sosialisme Indonesia.

Dengan perkataan lain, Pancasila yang akan kita amalkan harus memiliki semangat anti penjajahan, anti penghisapan manusia atas manusia ataupun penghisapan bangsa atas bangsa, semangat pembebasan nasional menuju cita-cita sosialisme Indonesia seperti digariskan oleh Pembukaan UUD 1945.

Dengan berpegangan pada Pembukaan UUD 1945, kita dapat merangkum setiap esensi dari perjuangan anti neoliberal di semua sektor rakyat ke dalam butir-butir Pancasila.
Dari sari-sari perjuangan kita di lapangan perburuhan, kaum miskin perkotaan, petani, hingga mahasiswa-pelajar dan kebudayaan dapat kita sempalkan semua ke dalam Pancasila. Dan masing-masing sektor dapat saling mendukung perjuangan di sektor lainnya secara bahu membahu, holobis kuntul baris. Inilah watak sejati Pancasila yang lebih dikenal sejak masa nenek moyang kita dengan istilah gotong royong (1) .

Semisal dalam soal outsourcing dan sistem kerja kontrak, kita akan bilang bahwa konsep labour flexibility milik neoliberal tersebut bertentangan dengan pengamalan Sila ke 2-Kemanusiaan yang Adil dan Beradab sekaligus juga Sila ke 5-Keadilan Sosial Bagi Seluruh Rakyat Indonesia. Atau semisal juga tentang maraknya penggusuran kampung kumuh di perkotaan yang mengekspresikan program City Without Slump milik neoliberal, kita juga dapat bilang itu melanggar sila ke 2 dan ke 5. Artinya, sepanjang Menakertrans masih "mengamalkan" sistem outsourcing dan kontrak yang menghisap kaum buruh se-Indonesia; atau sepanjang Gubernur DKI Jakarta atau gubernur, walikota/bupati di daerah lain di Indonesia, masih rajin "mengamalkan" penggusuran terhadap anak jalanan dan perkampungan kumuh, sepanjang itu jualah mereka dengan sengaja telah melanggar Pancasila sila ke 2 dan ke 5 sekaligus. Menjadi sah kemudian jika kita jatuhkan tudingan bahwa Muhaimin Iskandar adalah musuh Pancasila, karena masih membiarkan kaum buruh Indonesia bergelimang dalam perbudakan modern; dan Fauzi Bowo juga adalah musuh Pancasila, karena tidak pernah melindungi hak hidup warga miskin Jakarta. Gampangnya, kedua oknum pejabat tersebut adalah musuh Pancasila, maka mereka adalah musuh bersama kaum buruh dan kaum miskin kota.

Kesimpulan akhir: neoliberal dan semua operatornya adalah musuh Pancasila; dan semua kaum yang dirugikan (oleh neoliberal) wajib bergotong-royong bersatu dalam aksi menentangnya.

*****

(1) Pada sidang di mana Ir. Sukarno berpidato tentang Pancasila tanggal 1 Juni 1945, ia diminta oleh pimpinan sidang untuk memerah Pancasila (5) menjadi Trisila (3) dengan pertimbangan lima sila masih terlalu panjang. Ia menyanggupi dan menyebutkan Trisila, yaitu Sosio-demokrasi, Sosio-nasionalisme, dan Ketuhanan yang Berkebudayaan. Namun pimpinan sidang masih kurang puas dan menantang Ir. Sukarno apakah dapat memerah tiga sila menjadi satu sila saja. Dan Ir. Sukarno kembali menyanggupi, ia menyebut Gotong Royong (pen)

"Pancasila jangan sebatas wawasan saja, tetapi harus menjadi ideologi aksi dalam praktek."


Joesoef Isak dalam suatu tulisan pengantar di tahun 2008 (sebelum tutup usia)

"Tetapi Republik Indonesia menghadapkan kita dengan satu keadaan jang istimewa. Rakjat adalah beraneka ragam, beraneka adat, beraneka ethnologi. Rakjat yang demikian itu membutuhkan satu "dasar pemersatu". Dasar pemersatu itu adalah Pantjasila."
Ir. Sukarno, dalam suatu sambutan tanggal 17 Agustus 1955

Oleh: Gede Sandra