Selasa, 24 Mei 2011

REFLEKSI DALAM MOMEN KEBANGKITAN



Jumat (20/5), siang itu di Bundaran Hotel Indonesia terdapat sekelompok pemuda yang tengah melakukan demonstrasi dalam rangka Hari Kebangkitan Nasional. Satu persatu mereka berorasi untuk menyampaikan tuntutannya. Tema yang mereka angkat adalah “Kebangkitan Melawan Rezim Penindas Rakyat”. Sejarah telah merekam bahwa, selama ratusan tahun bangsa Indonesia telah menjadi budak di negerinya sendiri. Pada masa kerajaan rakyat bersikap patronisme terhadap rajanya. Pada masa colonial sifat patron itu tidaklah berubah, hanya bergeser kepada bangsa kulit putih yang berperan sebagai penjajah. Hal bodoh itu berlangsung selama ratusan tahun, dan berakhir pada masa politik Etis dimana semua orang ”bebas” berpendapat.

Hari Kebangkitan Nasional (selebihnya ditulis HARKITNAS) merupakan suatu pertanda bahwa bangsa Indonesia yang sebelumnya lebih dikenal sebagai bangsa pekerja mulai sadar akan pentingnya berpolitik. Perayaan HARKITNAS tiap tahun sangatlah meriah. Peringatan dilakukan dengan berbagai cara salahsatunya, dengan upacara bendera. Tetapi apakah benar hari ini kita telah memaknai HARKITNAS sebagaimana mestinya.
Berbicara mengenai sebuah Kebangkitan Nasional berarti juga membicarakan Hak Asasi Manusia, khususnya Hak sebagai manusia indonesia yang merdeka. Sampai hari ini masih banyak terjadi berbagai pelanggaran hak asasi di Indonesia. Kasus yang belum lama ialah pelanggaran hak asasi petani yang dilakukan oleh oknum militer. Militer yang seharusnya menjadi pelindung kedaulatan bangsa dan rakyatnya, hari ini telah menjadi momok menakutkan dimata rakyat. Seharusnya senjata yang mereka gunakan ialah untuk membela batas wilayah NKRI tetapi, malah digunakan untuk menembak rakyatnya sendiri. Itu contoh kecil dalam pelanggaran hak asasi manusia yang dilakukan oleh militer yang notabene alat pelindung rakyat.

Kaum buruh juga tidak luput dari pelanggaran hak asasi. Para TKI yang digadang-gadang menjadi pahlawan devisa diluar negeri sungguh tidak berharga. Mereka disiksa dan tidak digaji. Pemerintah yang menggadang-gadang malah angkat tangan dan tidak tahu menahu dalam hal ini. Selain itu tidak hanya TKI tetapi juga, buruh pabrik dan buruh tani tidak luput dari pelanggaran hak asasi. Pemerintah dengan sistem Outsourchingnya membuat buruh berada ditengah-tengah. Antara memilih mengenggur untuk haknya atau bekerja demi hidupnya. Buruh-buruh tani di pedesaan diperlakukanlayaknya hewan ternak. Mereka bekerja tanpa ada perlindungan dari pemerintah. Tak ayal mereka menjadi sasaran para tuan tanah dan rentenir yang menggerogoti hidup mereka.

Dalam hal pendidikan tidaklah jauh berbeda. Har ini pendidikan sudah menjadi barang komersil. Pendidikan hari ini diarahkan kepada pendidikan berbasis pasar. Dengan program SMK bisa pemerintah secara tidak langsung mengalihkan dungsi sekolah. SMK bukan menjadi pencetak tenaga ahli malah akan mencetak para buruh-buruh segar yang nantinya akan bekerja dalam ranah kapitalisme. Pemerintah juga terlalu memaksakan model pendidikan yang berpedoman kepada kurikulum nasional. Dampaknya tidaklah terjadi pemerataan pendidikan di Indonesia, dan UN pun bukan suatu jawaban yang tepat sebagai solusi.

Kebangkitan Nasional ialah bebas dari segala penindasan akan hak asasi manusia. Lantas apakah kita masih dikatakan telah bangkit sebagai suatu bangsa. Kebangkitan Nasional bukanlah euforia semata. Bukanlah romantisme dalam perjuangan masa lalu. Kebangkitan Nasional adalah bagaimana kita bekerja, dan melihat secara realitas yang ada.