Sabtu, 31 Juli 2010

Judul buku : Pemikiran Karl Marx “ Dari Utopis ke Perselisihan Revisionisme”.

Penulis : Franz Magnis-Suseno.

Penerbit : Gramedia, Jakarta 2003.

Tebal halaman : 284 hlm.

TUA TAK LEKANG DITERPA ZAMAN

Karl Heinrich Marx lahir di Trier, sebuah kota di kawasan Rheiland Jerman (Prusia), dekat perbatasan dengan Prancis pada 5 Mei tahun 1818. Kedua orang tuanya adalh keturunan pendeta-pendeta Yahudi. Ayahnya, Heinrich Marx termasuk golongan menengah dan menjadi pengacara ternama. Sedangkan ibunya adalah puteri dari seorang pendeta Yahudi dari Belanda. Marx jebolan Universitas Hukum Bonn dan di dalam masa ini bakat filsafatnya mulai muncul. Di Berlin inilah Marx menjadi seorang hegelian (Club Young Hegelian). Anggota Hegelian adalah para pelajar yang mengkajiajaran-ajaran Hegel yang saat itu menjadi dogma dan ideology resmi di Jerman.

Setelah menyelesaikan gelar Ph. D dalam filsafat pada tahun 1841 di Bonn, Berlin, dan Jena. Maka dari sinilah karier Marx dimulai. Pemikiran Karl Marx merupakan adopsi antara filsafat Hegel, French, dan tentunya pemikiran dari David Ricardo (pemikir teori ekonom klasik). Bahkan Marx muda merupakan seorang hegelian. Analisa Karl Marx tentang kapitalisme merupakan aplikasi dari teori yang dikembangkan oleh G.W.F Hegel, dimana teorinya berpendapat jika,”sejarah berproses melalui serangkaian situasi dimana sebuah ide yang diterima akan eksis, tesis. Namun segera akan berkontradiksi dengan oposisinya, antitesis. Yang kemudian melahirkanlah antitesis, kejadian ini akan terus berulang, sehingga konflik-konflik tersebut akan meniadakan segala hal yang berproses menjadi lebih baik”.

Marx juga pernah menjadi seorang dosen di Universitas Bonn tetapi tidak lama. Lalu ia beralih menjadi seorang wartawan dan menerbitkan sebuah majalah yang di beri nama ”Rheinissche Zeitung”. Tetapi kareana di nilai terlalu radikal oleh pemerintahan Jerman saat itu maka Marx hendak ditangkap tetapi dia berhasil melarikan diri ke Prancis. Saat di Prancis Marx berkenalan tentang pemikiran revolusi karena Prancis saat itu merupakan negara terliberal. Selain itu marx juga belajar tentang penderitaan.

Pada tahun 1844 marx berkenalan dengan Fredrick Engels yang merupkan seorang sosialis dari London. Awal pesahabatan abdi antara Karl Marx-Engels ditandai dengan penulisan buku bersama yang berjudul ” Die Heiligie Familie ” (The Holy Family). Selain buku tersebut Marx dan Engels juga menerbitkan buku ”Das Capital” yang merupakan dasar dari ekonomi modern. Intisari buku tersebut berisikan antara lain :

  1. pengahapusan kekayaan tanah dan menerapkan sewa tanah bagi tujuan-tujuan publik.

    2. pengenaan pajak pendapat (tax income) yang bertingkat.

    3. pengapusan seluruh hak-hak warisan.

    4. penarikan kekayaan seluruh emigran dan para penjahat atau pemberontak.

    5. sentralisasi kredit pada negara melalui bank nasional dengan modal negara dan monopoli yang bersifat eksklusif.

    6. sentralisasi alat-alat komunikasi, dan transportasi di tangan negara.

    7. perluasan pabrik dan alat-alat produksi yang dimilki oleh negara, menggarap tanah yang tanah, dan meningkatkan guna tanah yang sesuai dengan perencanaan umum.

Tujuh butir pemikiran pokok itu bersumber kepada teori nilai lebih yang di gunakan para kaum kapital sebagai alat pengeruk keuntungan. Dengan teori itu para pemilik modal dapat mendapatkan laba sebanyak-banyaknya dengan modal yang terbilang kecil. Dengan cara penmerasan terhadap para pekerjanya. Pemerasan tenaga dan kehidupan si pekerjanya. Teori tentang nilai lebih menyikap apa yang oleh Marx di sebut rahasia perekonomian kapitalis.

Sebagai salah seorang filsuf juga Marx banyak memperhatikan tentang kehidupan sosial di sekitarannya. Kemudian mulailah Marx memasuki dunia sosiolog. Konsentrasi pembahasannya adalah tentang ketertindasan masyarakat bawah (proletar) oleh kaum pemodal (kapitalis) serta, dampak ketertindasan tersebut bagi kehidupan mereka. Marx berkesimpulan bahwa segala sesuatu berawal dari faktor ekonomi. Ekonomilah yang mengawali kehidupan manusia menjadi seperti sekarang tergolong menjadi beberapa kelas sosial.

Marx juga membahas tentang Hak Milik Pribadi. Bagaimana keterasingan manusia dapat di akhiri dan manusia dijadikan utuh kembali seperti masa yang lalu. Marx membedakan tiga tahap umat manusia. Tahap pertama adalah masyarakat purba sebelum pembagian kerja dimulai. Seperti yang di trangkan di atas. Tahap kedia adalah tahap pembagian kerja sekaligus tahap hak milik pribadi dan tahap keterasingan. Tahap letiga adalah tahap kebebasan, yaitu apabila hak milik pribadi sudah dihapus. Jadi sitem hak milik pribadi bukanlah sebuah ”kecelakaan” sejarah melainkan tahap yang pasti dalam perjalanan umat manusia menuju tahap yang ketiga.

Sebelum kita mengenal sistem masyarakat kita yang seperti ini (stratifikasi) dahulu masyarakat kita hidup bersama-sama dan untuk tujuan yang sama. Dalam kehidupannya tidak ada perbedaan serta ketimpangan atau pengklasifikasian. Kehidupan seperti ini di sebut dengan kehidupan komunal primitif. Lalu pada masa bercocok tanam mulailah dalam kehidupannya manusia sudah mengenal pmbagian tugas serta jabatan dalam kehidupannya. Contohnya dalam suatu kelompok terdapat orang-orang yang ahli dalam berburu, ahli berfikir (strategi), kepercayaan (animisme), dsb. Disinilah sebenarnya awal dari penggolongan manusia di lihat dari kedudukannya dalam bermasyarakat. Yang kemudian berkembang menjadi lebih kompleks pada masa perundagian hingga feodalisme dan seterusnya hingga kini.

Dalam perjalanan kariernya marx banyak melakukan kritik. Salah satu kritiknya yang terkenal adalah keritiknya terhadap agama. Marx mengkritik bahwa agama adalah ”candu bagi masyaraka”t. Mengapa demikian? Karena agama dinilai hanya sebagai alat penghibur seseorang dalam keadaan sedang kesusahan. Singkatnya Marx mengkritik sikap manusia yang jika sedang dalam kesusahan berlari menghadap tuhannya dan jika sedang senang lupa akan tuhannya. Maka dari itu agama di anggap seperti candu yang sifatnya dapat memabukan dan hanya menghibur semata. Tentu kritik ini disesuaikan dengan keadaan lingkunagn masyarakat Marx pada saat itu. Jika kita refleksikan atau kita samakan dengan kehidupan masyarakat kita masa sekarang tentu tidak jauh berbeda. Dimana masyarakat kitapun banyak yang seperti itu. Tetapi kita pun tak boleh menyalahkan mereka yang seperti itu karena agama adalah urusan kita dengan tuhan kita masing-masing.

Selain kritik tentang agama Marx juga melakukan kritik terhadap Negara. Bagi Marx adanya negara membuktikan bahwa manusia terasing dari kesosialannya (kemasyarakatan) karena andaikata manusia sosial dengan sendirinya, tidak perlu ada negara yang memaksanya agar mau besifat sosial. Singkatnya manusia adalah makhluk yang secara hakiki adalah makhluk sosial. Karena itu rasa sosial manusia haruslah timbul dari dirinya sendiri dan negara tidak perlu ikut campur dalam rasa kesadaran bersosial manusia. Jadi keterasingan dasar manusia adalah keterasingannya dari sifat yang sosial. Tanda dari keterasingan itu adalah eksistensi atau peran negara sebagai lembaga dari luar memaksa individu untuk bertindak sosial sedangkan, individu itu sendiri semata-mata bersifat egois. Masih banyak lagi pemikiran-pemikiran Marx yang lain dan jika di tuliskan akan memakan kertas yang menjuntai panjang. Ini semua hanyalah sedikit dari pemikiran tua yang revolusioner tak lekang di terpa zaman.

( ini belum di edit nih masih "orisinil" )
selamat membaca !!

nb; my tulisan nih.

Kamis, 29 Juli 2010

PENYARINGAN DAN PARADOKSIAL MAHASISWA (pembaruan)

Biasanya pada awal masuk ke dalam lingkungan kampus terdapat sebuah acara yang tujuannya adalah memperkenalkan para mahasiswa baru terhadap sistem akademik kampus. Acara tersebut biasa dikenal dengan OSPEK ( Orientasi Studi dan Pengenalan Kampus ). OSPEK merupakan kegiatan rutin kampus setiap awal tahun ajaran baru. Bagi mahasiswa baru, OSPEK adalah momok yang sangat menakutkan. Tak jarang orang berusaha sebisa mungkin untuk tidak mengikuti acara orang gila yang satu ini. Layaknya saya, pengalaman ketika MOS ( masa orientasi siswa ) pada saat SMA jelas menjadi sebuah pelajaran yang sangat tidak mengenakkan. Namun bukan berarti saya menentang acara OSPE atau MOS, hanya saja agenda kegiatan dan bentuk kegilaan didalamnya harus dihapus. Departemen pendidikan perlu bertindak cepat agar kebodohan ini segera berakhir. Apalagi tujuan sekolah sebenarnya adalah untuk melenyapkan kebodohan. Tetapi kegiatan OSPEK telah tertransisi menjadi MPA (Masa Pengenalan Akademik). Penggantian ini dikarenakan, kegiatan OSPEK sarat akan kegiatan fisik dan tidak sesuai sasaran. Parahnya hanya bertujuan ajang balas dendam dan hura-hura senioritas pada praksisnya.
Masa Pengenalan Akademik atau biasa disebut MPA merupakan, kegiatan yang rutin dilaksanakan oleh pihak kampus sebagai tanda awal perkenalan kampus terhadap para Mahasiswa Barunya secara edukatif dan inovatif. Tujuan dilakukannya MPA tidak berubah jauh dari tujuan OSPEK ialah untuk membekali para MABA agar mengenali seluk beluk kampus yang nantinya akan menjadi tempat mereka menempa ilmu selama empat tahun lebih. Biasanya MPA dilakukan dalam tempo 5-6 hari lamanya, yang terdiri dari, MPA Fakultas dan MPA Jurusan. Pada moment MPA Para MABA diperkenalkan dengan kampusnya mulai dari sistem birokrasi sampai sistem pembelajaran. Pihak kampus juga mengharapkan dalam MPA terjalin hubungan kekeluargaan antara MABA dengan MABA atau MABA dengan para pembinanya.
Seperti penjelasan di atas mungkin pada kampus-kampus lain pada umumnya MPA lebih dikenal dengan nama OSPEK. OSPEK dan MPA sebenarnya hanyalah tipis perbedaannya. Perbedaan OSPEC dan MPA yaitu, katannya OSPEC lebih kepada penggemblengan fisik, lebih keras, tidak ada tujuan edukasinya, dan lebih tanpa tolerisasi. Tetapi apakah MPA sudah lebih baik dari OSPEK?, MPA sebenarnnya tidak lebih baik dari OSPEK hanya saja MPA mengunakan cara yang ”halus” dalam penggemblengan para MABA.
Sebenarnya dalam MPA para MABA lebih ditekan secara mental ketimbang fisiknya. Contoh kecilnya ialah kewajiban membawa atribut perlengkapan MPA bagi para MABA. Bagi para panitia MPA hal tersebut merupakan hal yang memang sudah biasa tetapi yang harus diperhatikan apakah dampak hal tersebut bagi para MABA dan apakah para panitia memikirkan hal tersebut. Dapat kita ulas secara seksama dampak dan akibat dari kewajiban yang sebenarnnya tidak lah begitu bermanfaat. Tujuan indil dari MPA diabaikan oleh pihak-pihak yang takberakal bahkan, kegiatan MPA banyak yang dikomersialisasikan. Seperti contohnya bisnis atribut oleh para panitia. Dengan dalil agar mudah didapat dan pengisi pundi-pundi organisasi.
Tentunya para MABA tak dapat bnyak berbuat apa-apa atas perlakuan yang diterimannya. Para MABA banyak lebih bersifat patuh lantaran sekian banyaknya peraturan yang dibuat oleh para panitia MPA entah itu MPA Fakultas atau MPA Jurusan pasti peraturan akhirnya ialah pernyataan bahwa ”Panitia Selalu Benar”.
Padahal sudah sangat jelas sekali bahwa tujuan dari MPA adalah memeberikan pengetahuan kepada para calon mahasiswa tentang dunia kampus yang akan menjadi rumahnya sekama beberapa tahun. Membawa atribut yang macam-macam memang merupakan suatu tradisi yang telah lama. Tradisi pembodohan. Selain itu belum lama rektorat juga telah mengeluarkan fatwa tentang pelarangan ”atribut yang nyeleneh-nyeleneh pada kegiatan MPA tahun ini” (27 juli 2010). Jadi sudah jelas bahwa rektorat sendiri menginginkan MPA yang ”bersih” dan edukatif. Lalu jika masih ada kegiatan MPA yang aneh-aneh secara otomatis melanggar peraturan rektorat.
MPA jangan dijadikan ajang mencari untung oleh Fakultas ataupun oleh Jurusan karena, para orang tua MABA sudah cukup terbebani dengan administrasi kampus dan diperparah setelah makin mantapnya BLU di kampus kita tercinta ini. Jika tetap tidak ada perubahan, masih perlukah ikut MPA ?

Rabu, 28 Juli 2010

FORUM DISKUSI GERAK SEJARAH


“ merepresentasikan tingkat kepedulian akan rapuhnya tradisi diskusi yang telah luntur , mencoba mengeksperimentasi pemikiran dalam ajang pembangunan kesadaran.”

Kehidupan kaum intelektual esensinya ialah tak pernah luput dari sebuah pergumulan dan pelemparan wacana untuk mencari dialektika . Tapi intelektual masa kini telah terdoktrin oleh sebuah penyakit globalisasi yang menimbulkan sifat kaum intelektual yang individualistis,glamoures,dan sangat menjunjung tinggi kemapanan .

Ketika pendidikan telah diperoleh ,dan kaum intelektual dapat bergumul dengan teori-teorinya.Mereka tidak sadar akan sebuah esensi pendidikan yang dijunjung tinggi founding father bangsa Indonesia dimana tersebut, pendidikan bertujuan untuk mencerdaskan anak bangsa.Dalam konteks ini bukan pencerdasan untuk menciptakan anak bangsa yang tertindas untuk menjadi penindas baru dan menciptakan kaum tertindas penggantinya .Inilah yang tidak dipahami oleh intelektual yang di dalam jiwanya sudah terpasang jiwa developmentisme .

Terlahir dari sebuah akar sejarah dimana sifat heroik para pemuda pra-revolusi kemerdekaan 45 yang mencoba merepresentasikan perjuangan kemerdekaan kala itu dengan cara berpegerakan . Menjadi landasan terciptanya “forum diskusi gerak sejarah” .Berangkat dari sebuah keyakinan bahwa pengetahuan dapat diperoleh tidak hanya dibatasi oleh tembok dimana pendidikan dibagi menurut jenis keilmuannya dan waktu yang terhitung dalam jumlah satuan acara perkuliahan (SAP) ,membuat bahwa kesadaran untuk proses aktualisasi diri dan bereksperimentasi pemikiran tidak hanya sebatas dari ruang kelas yang sangat menjunjung tinggi formalitas belaka .

Dalam konteks ini Gerak sejarah (geser) bukan ingin menjadi korban romantisme masa lalu melainkan mencoba menjadi tempat yang sederhana dimana di dalamnya menjadi ajang yang bebas dan teratur dalam proses mencari dialektika .

Pemikiran-pemikiran yang terdapat di lingkup intelektual memiliki corak yang berwarna-warni sehingga membuat paradigma kaum intelektual bukannya menjadi semakin luas karna keberagaman ini tapi malah semakin sempit karna pencucian otak yang telah dilakukan dimasa orde baru silam dimana pemerintahan kala itu menjatuhkan vonis bersalah pada pemikiran tertentu .Dan disinilah fungsi geser dalam menjawab masalah yang terjadi sekarang ini .

Isu-isu kampus yang menyelimuti kehidupan kaum intelektual ditanggap hangat oleh geser , oleh karena itu geser ingin selalu menjadi pengawal kebijakan lokalitas kampus . Baik kebijakan tingkat jurusan,fakultas,bahkan universitas . Tentunya kebijakan-kebijakan yang tidak berpihak pada kaum intelektual yang tertindas olehnya.

Peradaban ini akan terus berjalan seiring dengan material yang selalu berkembang. Kesadaran tercipta lewat proses pembantahan-pembantahan.Geser akan selalu hadir dan mengantui setiap unsur-unsur pengambat proses pembangunan kesadaran untuk berpegerakan . Kelak geser ini kan menjadi sebuah jawaban jika teman-teman intelektual turut andil mengambil bagian dalam proses ini . (oleh satrio nak sejarah UNJ)

Senin, 26 Juli 2010

Wajah Buruk Pendidikan Kita

“Politik pendidikan penguasa adalah suatu cerminan dari kebobrokan pendidikan di negri ini.”

Benny Susetyo merupakan lulusan S2 di Pascasarjana Sekolah Tinggi Filsafat dan Teologi (STFT) Widya Sasana Malang tahun 1996. Sampai saat ini aktif di Forum Kajian Demokrasi dan Hak Asasi Manusia Indonesia serta salah satu pendiri organisasi Pergerakan Manusia Merdeka bersama KH. Abdurrahman Wahid. Pendidikan seyogyanya merupakan pembentuk manusia dari yang tidak beradab menjadi beradab. Sebenarnya buku politik pendidikan penguasa adalah catatan harian si penullis dalam merespons berbagai intrik politik penguasa dalam membuat kebijakan pendidikan.
Pendidikan dalam berbagai bentuk dan cara masih dipercaya sebagai satu-satunya alternatif untuk mengembangkan diri, berkompetisi secara adil, membuka cakrawala berpikir untuk menghindari cara berfikir yang sempit, mencerdaskan pikiran, mempertajam nurani, dan sebagainya.
Pasalnya, di negri ini pendidikan dijadikan lahan bisnis untuk merauk rupiah bagi para penguasa. Selain itu pendidikan dewasa ini hanya dapat dinikmati bagi mereka yang berkantong tebal dan bagi si miskin pendidikan ialah barang mewah yang tidak mukin dapat dinikmati. Padahal mengenai hak pendidikan dan tujuan pendidikan sudah jelas tertera didalam pasal 31 bahwa pendidikan adalah hak semua rakyat dan dalam pembukaan UUD’45 alenia ke 4 mengenai tujuan pendidikan yang mencerdaskan kehidupan bangsa.
Saat ini dunia pendidikan pendidikan Indonesia menghadapi tiga tantangan besar. Pertama, dunia pendidikan dituntut untuk dapat mempertahakan hasil-hasil pembangunan pendidikan yang telah dicapai. Kedua, untuk menghadapi era globalisasi dunia pendidikan dituntut untuk mempersiapkan sumber daya manusiayang kompeten agar bisa bersaing dalam masa era globalisasi. Ketiga, sejalan dengan otonomi daerah, perlu dilakukan perombakan dan penyesuaian sistem pendidikan agar lebih demokratis. Jika saya tarik benang merahnya pemerintah mencoba memenuhi permintaan pasar dimana dibutuhkan segera para pekerja (buruh) bergaji murah guna memenuhi kepentingan para pemegang modal.
Ketika diputuskan bahwa PTN menjadi BHMN, sedikitnya ada tiga alasan atas fenomena tersebut. Pertama, keterbatasan anggaran pendidikan yang disediakan negara kepada masyarakat. Kedua, soal deetatisme yang digembor-gemporkan sebagai jalan menuju otonomi kampus sepenuhnya. Ketiga, soal kapitalisme global yang semakin lama semakin pasti mensyaratkan privatisasi sebagai lembaga milik negara untuk dipersaingkan di tengah pasar bebas.
Satu lagi masalah besar dalam dunia pendidikan adalah mutu pendidikan serta kualitas pengajar. Karena sekolah dengan gedung yang bagus, dan dengan fasilitas yang mencukupi serta memadai bukanlah sebuah jaminan bahwa mutu sekolah itu juga bagus.
Mutu pendidikan serta kualitas dan kwantitas pendidik juga mesti dipertanyakan apakah si pendidik sudah mencapai standar kualitas ataukah belum. Sebenarnya masalah inilah yang paling penting dari masalah lain. Memang dengan fasilitas-fasilitas sekolah yang memadai siswa dapat belajar sendiri.
Faktanya siswa hanya diberikan pendidikan yang sekadarnya, mutu serta kualitas pengajar tidaklah penting. Mereka hanya disiapkan untuk menjadi para pekerja gengerasi baru yang siap diperas serta ditindas oleh para penguasa.
Pendidikan yang berotonomi hanyalah mimpi, tetap saja yang ada hanya sentralisasi pendidikan. Sentralisasi yang setengah-setengah lebih tepatnya, ketika di lapangan masih terjadi tarik-menarik antara kewenangan pusat dan daerah, serta tidak adanya ketidaksiapan secara kelembagaan maupun pelaksanaan kebijakan di daerah. Wajah sentralisasi pendidikan disini adalah seperti kurikulum, standarisasi penilaian, kompetensi siswa, dll.
Gagalnya Kurikulum
Saya mengambil contoh keburukan dari sentralisasi pendidikan ialah kegagalan sistem kurikulum. Dimana kita ketahui kurikulum dibuat oleh pemerintah pusat tanpa ada campur tangan para pendidik daerah. Padahal, merekalah yang melaksanakan kurikulum tersebut serta merekalah yang mengetahui medan lapangannya. Terbukti di lapangan, bahwa tidak semua pendidik mampu melaksanakan apa yang tertera di kurikulum.
Sebenarnya kurikulum tidak banyak berperan besar dalam peningkatan pendidikan. Kurikulum dengan alih-alih penyama rataan standarnisasi pendidikan nasional justru menjadi jurang pemisah antara pendidikan pusat dan daerah. Tetapi apa yang terjadi pemerintah tetap saja menetapkan kurikulum sebagai standar pencerdasan bangsa. Mereka tidak memikirkan lagi tujuan hakiki dari kurikulum.
Catatan tentang polemik Rancangan Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional di tahun 2003 sebagai pengganti UU NO.2 tahun 1989. penolakan besar-besaran atas RUU Sisdiknas melalui unjuk rasa dan berbagai statement ternyata tidak menyurutkan niat penguasa untuk mensahkan UU ini. Kasus inilah yang paling menarik dijadikan sorotan terhadap kegagalan penguasa untuk berbuat adli dan menyingkirkan kepentingan agama, terkait dalam proses pelaksanaan pendidikan yang mencerdeskan.
RUU Sisdiknas yang melahirkan kontroversi telah diabsahkan. Merunut ke belakang, kontroversi itu terutama dipicu adanya masalah pendidikan agama seperti dijelaskan dalam pasal 12 ayat 1 RUU Sisdiknas. Di dalam Bab V tentang Peserta Didik, Pasal 12 ayat 1 tersebut dinyatakan ”setiap peserta didik pada satuan pendidikan merupakan subyek dalam proses pendidikanyang berhak mendapatkan pendidikan agama sesuai dengan agama yang dianutnya dan diajarkan oleh pendidik yang seagama”.
Di dalam isi Bab V ini tersirat dua masalah, yakni pertama, apakah pendidikan agama bisa diberikan oleh guru yang seagama atau cukup guru yang memiliki kompetensi walaupun mereka berbeda keyakinan agama; dan kedua, apakah pendidikan harus diberikan kepada semua jenjang dan jenis pendidikan, atau apakah cukup di beberapa satuan pendidikan tertentu saja.
Kalau kita berusaha jujur atas makna yang sesungguhnya dari adanya sekolah (pendidikan), sebenarnya pendidikan adalah media dalam proses belajar dan mengajar, yang pada intinya adalah sebuah trasformasi nilai atas siswa ataupun masyarakat secara umum. Fungsi yang paling vital dari pendidikan ialah menggugah kesadaran kritis siswanya atau rakyat pada umumnya, sehingga memberikan kedewasaan berfikir, logis, dan mampu membaca serta krisis terhadap perkembangan disekitarnya. Pemaknaan yang seperti ini memberikan ruang eksistensi yang lebih substansif atas pendidikan.itukah mengapa pendidikan berfungsi sebagai media yang efektif dalam mentransformasikan ide-ide bagi terbentuknya kesadaran massif di kalangan masyarakat untuk melakukan perubahan sosial.
Pemaknaan pendidikan yang substansif terkikis oleh realitas kepentingan kekuasaan yang hegemonik. Kemasan pendidikan sengaja di orientasikan demi kepentingan kekuasaan. Realitas ini dapat kita lihat pada negara-negara dunia ketiga, termasuk di negara kita, pendidikan sering kali tereksplorasi dengan sistem negara yang cendenrung mengiginkan adanya penyeragaman dan menjadikan pendidikan sebagai komoditas politik. Kekuasaan sering kali merasa terusik eksistensinya, sehingga perlu mengontrol dan mengarahkan pendidikan pada jalur yang akan mendukung kelanggengan atas kekuasaannya.
Pendidikan kita gagal bukan saja ketika dibandingkan dengan negara lain dalam ukuran-ukuran kuantitatif, melainkan juga secara kualitatif tidak dapat menciptakan manusia yang berbudi luhur, merdeka dengan gagasannya. Meski kita telah merdeka setengah abad lebih namun kemerdekaan itu hanyalah sebuah topeng.

Minggu, 25 Juli 2010

SEJARAH MANUSIA “PERJUANGAN ANTAR KELAS”

Manusia bebas dan budak, bangsawan dan jelata, tuan dan pelayan, guildmaster dan journeyman, singkatnya, penindas dan yang ditindas, berdiri dalam oposisi yang konstan terhadap lainnya, yang terjadi tanpa terputus, kini tersembunyi, sekarang perang terbuka, sebuah pertentangan yang setiap waktu berakhir dalam suatu rekonstitusi masyarakat bebas yang revolusioner atau dalam kejatuhan bersama dari kelas yang menentang.
Dalam jaman permulaan sejarah, kita menjumpai hampir dimana saja sebuah susunan masyarakat yang rumit ke dalam bermacam orde, sebuah gradasi kedudukan sosial yang bermacam-macam. Dalam Roma kuno kita menemukan kaum bangsawan, ksatria, jelata, budak; dalam Jaman Pertengahan, para tuan feodal, pemilik tanah, guildmaster, journeyman, magang, pelayan; dalam hampir semua kelas ini, kembali, mensubordinasi gradasi-gradasi.
Masyarakat borjuis modern yang telah tumbuh dari kejatuhan masyarakat feodal belum menghilangkan antagonisme-antagonisme kelas. Selain ia telah membentuk kelas-kelas baru, kondisi-kondisi penindasan baru, bentuk-bentuk baru perlawanan yang menggantian bentuk dari masa silam.
Jaman kita, jaman kaum borjuis, memiliki, bagaimanapun, sifat-sifat yang berlainan ini: ia telah menyederhanakan antagonisme kelas. Masyarakat sebagai suatu keseluruhan lebih dan sangat terbagi ke dalam dua kubu yang sangat bertentangan, ke dalam dua kelas besar yang secara langsung berhadapan satu sama lain--kaum borjuis dan proletar.
Kebangkitan Kaum Borjuis dari para pelayan pada Jaman Pertengahan memunculkan kontrak kewarga-negaraan dari kota-kota permulaan. Dari pemberian hak penuh sebagai warga negara ini, elemen-elemen pertama kaum borjuis dikembangkan.
Penemuan Benua Amerika, pengelilingan Tanjung, membuka lahan baru bagi kaum borjuis yang bertumbuh ini. Pasar-pasar Indian Timur dan Cina, kolonisasi Amerika, perdagangan dengan daerah koloni, peningkatan sarana-sarana pertukaran dan komoditas secara umum memberikan suatu letupan yang belum pernah dikenal sebelum terhadap perdagangan, navigasi, dan industri, dan dengan demikian, sebuah perkembangan yang cepat terhadap elemen-elemen revolusioner dalam masyarakat feodal yang goyah.
Sistem industri feodal, dimana produksi industrial dimonopoli oleh para gilda yang tertutup, kini tidak lama dapat mencukupi kebutuhan-kebutuhan yang bertumbuh dari pasar-pasar baru. Sistem manufaktur mengambil-alih kedudukannya. Para guildmaster disingkirkan oleh kelas menengah manufaktur; pembagian kerja antara perusahaan gilda yang berbeda menghilang dalam menghadapi pembagian kerja dalam setiap bengkel kerja tunggal.
Dalam pada itu, pasar-pasar terus bertumbuh, permintaan selalu menaik. Bahkan tidak lama manufaktur dapat mencukupi. Setelah itu, permesinan dan uap memberikan revolusi terhadap produksi industri. Tempat manufaktur diambil oleh industri raksasa dan modern; tempat kelas menengah industrial diambil alih oleh para milyuner industri--para pimpinan dari seluruh industri militer, kaum borjuis modern.
Industri modern telah membentuk pasar dunia, dimana penemuan Benua Amerika meratakan jalannya. Pasar ini telah memberikan suatu perkembangan yang besar terhadap perdagangan, navigasi, dan komunikasi darat. Perkembangan ini telah, sebaliknya, bereaksi pada peluasan industri ; dan, dalam proporsi sebagai industri, perdagangan, navigasi, dan jalan kereta api diperluas, dalam proporsi yang sama kaum borjuis berkembang, meningkatkan kapital-nya, dan menyingkirkan setiap kelas yang dijatuhkan Pada jaman pertengahan. Kita melihat, karenanya, bagaimana kaum borjuis modern sendiri merupakan produk dari sebuah perjalanan panjang, dari suatu rangkaian revolusi dalam model-model produksi dan pertukaran. Setiap tahap perkembangan kaum borjuis disertai dengan suatu kemajuan politis yang berhubungan dengan kelas ini. Sebuah kelas yang tertindas di bawah kekuasaan kebangsawanan feodal, menjadi sebuah asosiasi yang mengatur dirinya sendiri dan bersenjata pada komune pertengahan; disini republik kota yang independen (seperti di Italia dan Jerman), disana "tanah milik ketiga" yang dikenakan pajak dari monarki (seperti di Prancis); kemudian, dalam periode manufaktur yang sesungguhnya, yang melayani monarki semi-feodal atau absolut sebagai sebuah penyeimbang teradap bangsawan dan, nyatanya, merupakan landasan monarki-monarki besar umumnya--kaum borjuis akhirnya, sejak pembentukan industri modern dan pasar dunia, menaklukkan bagi dirinya, dalam negara representatif modern, kekuasaan politis yang eksklusif. Eksekutif negara modern adalah tidak lain dari sebuah komite yang menangani masalah-maslah bersama dari seluruh kaum borjuis.... Lebih jauh, kaum borjuis tetap menyingkirkan populasi, sarana-sarana produksi, dan kepemilikan negara yang terpecah-pecah. Ia telah mengelompokkan populasi, mensentralisasikan sarana-sarana produksi, dan telah mengkonsentrasikan kepemilikan dalam tangan sekelompok kecil orang. Konsekuensi penting darinya adalah sentralisasi politis. Propinsi-propinsi yang independen dihubungkan dengan kepentingan, hukum, pemerintah, dan sistem pajak yang terpisah disatukan menjadi satu nasion, dengan satu pemerintah, satu sistem hukum, satu kepentingan kelas nasional, satu perbatasan, dan satu tarif pabean.
Kaum borjuis... telah menciptakan kekuatan-kekuatan produktif yang lebih kolosal dari yang pernah ada dari semua generasi yang mendahuluinya. Pemusatan kekuatan-kekuatan alam pada manusia, mesin, aplikasi kimawi atas industri dan pertanian, navigasi uap, jalan kereta api, telegraf listrik, pembersihan seluruh dunia untuk penanaman, kanalisasi sungai-sungai, seluruh populasi dibangkitkan--apakah abad permulaan pernah memiliki suatu firasat bahwa kekuatan-kekuatan produktif ini dilenakan dalam bagian kerja sosial?
Kita lihat kemudian bahwa sarana-sarana produksi dan pertukaran, yang melayani sebagai sebuah landasan bagi pertumbuhan kaum borjuis, dilahirkan dalam masyarakat feodal. Pada suatu tahap tertentu dalam perkembangan sarana-sarana produksi dan pertukaran ini, kondisi-kondisi di bawah mana masyarakat berproduksi dan melakukan pertukaran, organisasi pertanian feodal dan industri manufaktur--singkatnya, relasi-relasi kepemilikan feodal--tidak lama harmonis dengan kekuatan-kekuatan produktif yang baru berkembang; mereka menjadi banyak menciptakan belenggu. Mereka harus dihancur-leburkan; mereka dihancur-leburkan.
Ke dalam kedudukan mereka dijejakkan kompetisi bebas, yang disertai dengan suatu konstitusi politis dan sosial yang diadaptasikan kepadanya dan dengan kekuasaan politis dan ekonomi kelas borjuis.


Kebangkitan kaum proletar sebuah gerakan yang sama sedang terjadi di depan mata kita. Masyarakat borjuis modern, dengan relasi-relasi produksi, pertukaran, dan kepemilikannya--sebuah masyarakat yang telah bangkit dengan sarana-sarana produksi dan pertukaran raksasa--seperti tukang sihir yang tidak dapat lama mengendalikan kekuasaan-kekuasan atas dunia bawah yang telah didatangkannya dengan mantra-mantranya. Selama beberapa dekade, sejarah industri dan perdagangan adalah tidak lain daripada sejarah pemberontakan kekuatan-kekuatan produktif modern melawan kondisi-kondisi produksi modern, melawan relasi-relasi kepemilikan yang merupakan kondisi-kondisi bagi eksistensi kaum borjuis dan penguasaannya. Tidak cukup untuk menyebutkan krisis komersial yang dengan keuntungan periodis-nya meletakkan eksistensi keseluruhan masyarakat borjuis pada pengadilan, setiap kalilebih mengancam. Dalam krisis-krisis ini, sebuah bagian besar, tidak hanya produk-produk yang ada, namun juga yang sebelumnya menciptakan kekuatan-kekuatan produktif, secara periodis dihancurkan.
Dalam krisis-krisis ini, terdapat penghancuran terhadap epidemi yang, dalam seluruh jaman permulaan, akan menampakan suatu absurditas--epidemi kelebihan produksi (over production). Masyarakat tiba-tiba menyadari dirinya sendiri diletakkan kembali ke dalam sebuah negara barbarisme sementara; yang muncul seolah sebagai kelaparan, suatu perang penghancuran universal, yang memotong suplai setiap sarana subsistensi; industri dan perdagangan nampaknya akan dihancurkan. Dan mengapa? Karena terdapat terlalu peradaban terlalu banyak subsistensi, terlalu banyak industri, terlalu banyak perdagangan. Kekuatan-kekuatan produktif dalam pembagian masyarakat tidak lama terlalu jauh cenderung kepada perkembangan kondisi-kondisi kepemilikan kaum borjuis; sebaliknya, mereka telah menjadi terlalu berkuasa bagi kondisi-kondisi ini, dimana mereka dibelenggu, dan mereka tidak segera menguasai belenggu-belenggu ini sehingga membawa kekacauan pada keseluruhan masyarakat borjuis, membahayakan eksistensi kepemilikan borjuis. Kondisi-kondisi masyarakat terlalu sempit untuk memuat kemakmuran yang diciptakan mereka. Dan bagaimana kaum borjuis mengatasi krisis-krisis ini? Di pihak lain, dengan destruksi paksa terhadap massa kekuatan-kekuatan produksi ; di pihak lain, dengan penaklukan pasar-pasar baru dan dengan eksploitasi yang lebih tidak tanggung-tanggung terhadap yang lama. Dengan kata lain, dengan meratakan jalan bagi krisis-krisis yang lebih destruktif dan dengan mengurangi sarana-sarana dimana krisis-krisis dicegah. Senjata-senjata yang dipakai kaum borjuis untuk meruntuhkan feodalisme kini berubah menjadi melawan kaum borjuis sendiri. Namun tidak hanya kaum borjuis telah menempa senjata-senjata yang membawa kematian pada dirinya sendiri ; ia juga menarik kembali eksistensi manusia yang akan memegang senjata-senjata itu --kelas pekerja modern, kaum proletar.
Dalam proporsi sebagai kaum borjuis, misalnya, kapital, dikembangkan, dalam proporsi yang sama kaum proletar, kelas pekerja modern, mengembangkan--sebuah kelas para pekerja yang hidup hanya selama mereka mendapatkan pekerjaan dan yang mendapatkan pekerja hanya selama kerja mereka dapat meningkatkan kapital. Para pekerja ini, yang harus menjual dirinya sedikit demi sedikit, merupakan komoditas, seperti setiap barang dagangan lainnya, dan secara konsekuen dibuka (tergantung) terhadap semua perubahan kompetisi, terhadap semua fluktuasi pasar.
Karena penggunaan ekstensif permesinan dan pembagian kerja, kerja kaum proletar telah kehilangan karakter individual dan, secara konsekuen, semua daya tarik seorang pekerja. Ia menjadi sebuah embel-embel dari mesin, dan hanya ketrampilan sederhana, monoton, dan lebih mudah yang dibutuhkan darinya. Karenanya, biaya produksi seorang pekerja dibatasi hampur seluruhnya dibatasi terhadap sarana-sarana subsistensi yang ia butuhkan bagi biaya dan perbaikan hidup. Namun harga komoditas, dan karenanya juga tenaga kerja, sama dengan biaya produksinya. Dalam proporsi, karenanya, sebagai kelebihan kerja yang meningkat, upah menjadi turun. Lebih lagi, dalam proporsi sebagai akibat penggunaan mesin dan pembagian kerja yang meningkat, dalam proporsi yang sama beban kerja keras juga meningkat, karena perpanjangan jam kerja,peningkatan kerja yang ditetapkan pada waktu yang ada, atau oleh peningkatan kecepatan mesin, dan lain-lain.
Industri modern telah sedikit mengubah bengkerl kerja dengan tuan yang patriarkal menjadi pabrik kapitalis industrial yang besar. Massa pekerja, dibaurkan ke dalam pabrik, yang diorganisasikan seperti tentara. Sebagai prajurit biasa dari industri dengan sistem seperti itu, mereka ditempatkan dibawah komando hirarki para pejabat dan para sersan yang sempurna. Mereka tidak hanya sebagai budak dari kelas borjuis dan negara borjuis, setiap jam dan hari mereka diperbudak oleh mesin, mandor, dan, di atas segalanya, oleh individu borjuis pemilik manufaktur sendiri. Secara lebih terbuka, despotisme ini menyatakan keuntungan sebagai akhir dan tujuannya ; betapa picik, menjengkelkan, dan menyakitkan hati hal ini.
Ketrampilan yang rendah dan pemerasan tenaga diimplikasikan dalam kerja manual, singkatnya, industri yang lebih modern berkembang, lebih banyak pekerja pria (dibutuhkan) menggantikan pekerja wanita. Perbedaan usia dan jenis kelamin tidak memiliki kesahihan sosial yang berbeda bagi kelas pekerja. Semuanya merupakan instrumen kerja, yang tinggi-rendahnya digunakan, tergantung pada usia dan jenis kelamin mereka. Para buruh tidak lama menerima upahnya secara tunai, yang untuk sesaat menghapus eksploitasi oleh para penguasaha manufaktur, kemudian para buruh diserang oleh bagian-bagian borjuis lainnya, tuan tanah, pemilik toko, pemilik pegadaian, dan lain-lain.
Strata terbawah kelas menengah--para pedagang kecil, para pemilik toko, pedagang yang umumnya sudah pensiun, pengrajin dan petani--semuanya tenggelam secara bertahap menjadi kaum proletar, sebagian karena kapital mereka yang kecil tidak mencukupi bagi skala industri modern yang dijalankan dan dibanjiri dengan persaingan kaum kapitalis besar, sebagian lagi karena keterampilan khusus mereka menjadi tidak dibutuhkan oleh metode-metode produksi yang baru. Jadi kaum proletar didapatkan dari semua kelas masyarakat.
Kaum proletar mengalami beberapa tahap perkembangan. Bersama kelahirannya memulai perjuangannya terhadap kaum borjuis. Pertama pertentangan dilakukan oleh para pekerja individual; kemudian oleh para pekerja sebuah pabrik; kemudian oleh para pengurus suatu serikat pekerja, dalam sebuah lokalitas, melawan kaum borjuis individual yang mengeksploitasi mereka secara langsung. Mereka mengarahkan serangannya, tidak melawan kondisi-kondisi produksi kaum borjuis, namun terhadap instrumen-instrumen produksi mereka itu sendiri; mereka menghancurkan perangkat-perangkat impor yang bersaing dengan kerja mereka; mereka menghantam hancur permesinan, mereka membakar pabrik-pabrik, mereka dengan paksa berusaha merestorasi status pekerja yang dihilangkan pada


Jaman Pertengahan.
Pada tahap ini para pekerja masih berbentuk sebuah massa yang inkoheren yang tersebar di seluruh negara dan dipisahkan oleh kompetisi mutual mereka. Jika di suatu tempat mereka bersatu membentuk badan-badan yang lebih tersusun, hal ini belum merupakan konsekuensi dari serikat aktif mereka, namun karena persatuan kaum borjuis, yang, dalam rangka mencapai tujuan-tujuan politisnya, didorong untuk mengatur gerak seluruh kaum proletar dan, lebih jauh, masih dapat melakukannya untuk sementara waktu. Pada tahap ini, karenanya, para proletar tidak melawan para musuhnya, namun para musuh dari musuh-musuh mereka, sisa-sisa monarki absolut, para tuan tanah, kaum borjuis non-industrial, borjuasi kecil. Jadi, seluruh gerakan historis dikonsentrasikan pada tangan-tangan kaum borjuis; setiap kemenangan yang dicapai adalah merupakan kemenangan bagi kaum borjuis. Namun, dengan perkembangan industri, kaum proletar tidak hanya meningkat jumlahnya; hal mana menjadi terkonsentrasi dalam massa-massa yang lebih besar, kekuatannya bertambah dan terus bertambah. Kepentingan-kepentingan dan kondisi-kondisi hidup yang beragam dalam tingkatan-tingkatan kaum proletar semakin sama, dalam proporsi akibat permesinan menghapus semua pembedaan kerja dan hampir dimanapun juga mereduksi upah hingga pada level yang sama rendahnya. Kompetisi yang meningkat di antara kaum borjuis dan akibat dari krisis-krisis perdagangan manjadikan upah para pekerja selalu mengalami fluktuasi. Perbaikan permesinan yang terus menerus , yang selalu berkembang dengan lebih cepat, membuat kehidupan mereka menjadi lebih sukar; bentrokan-bentrokan antara para pekerja individual dengan kaum borjuis individual mengambil karakter pertentangan antara dua kelas. Kemudian para pekerja mulai membentuk kombinasi-kombinasi (serikat pekerja) melawan kaum borjuis; mereka bersatu dalam rangka memperjuangkan angka upah; mereka mendirikan asosiasi-asosiasi permanen dalam rangka membuat ketetapan sebelumnya untuk pemberontakan-pemberontakan berkala. Di sana-sini pertentangan pecah menjadi huru-hara.
Kini dan kemudian para pekerja merebut kemenangan, namun hanya sementara. Hasil nyata pertempuran-pertempuran mereka terletak, tidak pada hasil yang sekejap, namun pada serikat buruh yang terus meluas. Serikat ini dilanjutkan oleh sarana-sarana yang komunikasi yang makin membaik yang diciptakan oleh indutri modern dan yang menempatkan para pekerja dari lokalitas yang berbeda dalam kontak satu sama lain. Hanya kontak inilah yang dibutuhkan untuk mensentralisasikan banyaknya perjuangan lokal, semuanya dalam karakter yang sama, menjadi satu perjuangan nasional antar kelas. Namun setiap perjuangan kelas merupakan sebuah perjuangan politis. Dan serikat ini, untuk mencapai seperti para warga Jaman pertengahan, dengan jalan yang sangat menyedihkan, memerlukan berabad-abad, kaum proletar modern, berterimakasih pada jalan, yang dibangun hanya beberapa tahun.
Organisasi kaum proletar ini menjadi sebuah kelas dan secara konsekuen menjadi partai politis terus direpotkan dengan kompetisi antara para pekerja sendiri. Namun hal ini terus bertumbuh lagi, lebih kuat, lebih padat, lebih perkasa. Hal ini mendorong pengakuan legislatif dari kepentingan-kepentingan partikular para pekerja dengan mengambil keuntungan dari pembagian-pembagian antara kaum borjuis sendiri.... Bersama itu, bentrokan antar kelas dalam masyarakat lama melanjutkan jalan perkembangan kaum proletariat dengan banyak cara. Kaum borjuis menyadari dirinya terlibat dalam pertempuran yang konstan. Mulanya, dengan aristokrasi; kemudian, dengan bagian-bagian borjuasi sendiri yang kepentingan-kepentingannya menjadi antagonistis terhadap kemajuan industri; selamanya, dengan kaum borjuis negara-negara asing. Dalam seluruh pertempuran ini, ia meliahat dirinya didorong untuk menarik kaum proletar, untuk meminta bantuannya, dan, kemudian, untuk menyeretnya ke dalam arena politis. Kaum borjuis sendiri, karenanya, mensuplai kaum proletar dengan elemen-elemen politis dan edukasi general-nya; dengan kata lain, hal ini menghapuskan kaum proletar dengan senjata-senjata untuk melawan kaum borjuis.
Lebih jauh, seperti telah kita lihat, seluruh seksi kelas penguasa merupakan, oleh kemajuan industri, dipercepat menjad proletariat atau sekurangnya diancam dalam kondisi-kondisi eksistensi mereka. Hal ini juga mensuplai kaum proletar dengan elemen-elemen pencerahan dan kemajuan yang baru.
Akhirnya, dalam waktu dimana perjuangan kelas mendekati jam penentuan, proses disolusi terus berlangsung dalam kelas penguasa, nyatanya dalam seluruh jangkauan masyarakat lama... sehingga sebuah seksi kecil kelas penguasa mengambang dan bergabung bersama kelas revolusioner, kelas yang menggenggam masa depan ditangannya. Seperti... pada suatu periode permulaan, sebuah seksi kebangsawanan menyeberang ke kaum borjuis, maka kini suatu bagian kaum borjuis menyeberang ke kaum proletar dan, khususnya, suatu bagian ideolog kaum borjuis yang telah mengangkat diri mereka ke level pemahaman gerakan historis secara teoritis sebagai sebuah keseluruhan.
Dari semua kelas yang berdiri berhadapan dengan kaum borjuis kini, kaum proletar sendirilah yang sungguh merupakan kelas yang revolusioner. Kelas-kelas lainnya membusuk dan akhirnya menghilang dalam menghadapi masyarakat modern; kaum proletar merupakan produk esensial dan khusus darinya. Kelas menegah bawah, pemilik manufaktur kecil, pemilik toko, pengrajin, petani--semuanya berjuang melawan kaum borjuis, untuk menyelamatkan kepunahan mereka sebagai fraksi-fraksi kelas menengah. Mereka, karenanya, tidak revolusioner, melainkan konservatif. Tidak lebih, mereka adalah kaum reaksioner, karena mereka mencoba untuk memutar ulang roda sejarah. Jika kebetulan mereka revolusioner, mereka demikian hanya dalam pandangan terhadap peralihan mendatang menjadi proletariat; sehingga mereka mempertahankan, bukan kepentingan-kepentingan mereka saat ini, namun kepentingan-kepentingan mereka pada masa datang; mereka meninggalkan titik pijak mereka untuk mengadopsi titik pijak kaum proletar.
"Kelas berbahaya", sekam sosial (lumpen proletariat), yang secara pasif merupakan massa akar yang dilepaskan dari lapisan-lapisan terendah masyarakat lama, mungkin, di sana-sini, dimasukkan ke dalam gerakan suatu revolusi proletar; kondisi-kondisi kehidupannya, bagaimanapun juga, mempersiapkannya lebih jauh bagi bagian dari suatu alat yang disuap oleh intrik kaum reaksioner. Kondisi-kondisi sosial masyarakat lama tidak bertahan lama bagi proletariat. Kaum proletar adalah tanpa pemilikan; relasinya dengan istri dan anak-anaknya tidak lama memiliki sesuatu yang umum dengan relasi-relasi keluarga kaum borjuis; pekerja industri modern, keberatan modern terhadap kapital, sama di Inggris seperti di Prancis, di Amerika seperti di Jerman, telah menguliti setiap jejak karakter nasional-nya. Hukum, moralitas, agama baginya merupakan prasangka-prasangka banyak kaum borjuis, merupakan tameng dari sergapan terhadap kepentingan-kepentingan banyak kaum borjuis.
Semua kelas terdahulu yang mendapat keuntungan mencoba membentengi status yang telah diperolehnya dengan penundukan masyarakat bebas ke dalam kondisi-kondisi apropriasi. Kaum proletar tidak dapat menjadi tuan atas kekuatan-kekuatan produktif masyarakat kecuali dengan penghapusan model apropriasi mereka sebelumnya dan dengan demikian juga setiap model apropriasi sebelumnya yang lain. Mereka tidak memiliki apa-apa untuk menjaga dan membentengi milik mereka; misi mereka adalah untuk menghancurkan semua perlindungan, dan jaminan, sebelumnya terhadap kepemilikan individual.

Semua gerakan historis sebelumnya merupakan gerakan kamerupakan gerakan kesadaran diri dan independen dari mayoritas yang besar, dalam kepentingan mayoritas yang besar. Proletariat, strata terbawah dari masyarakat kita saat ini... tidak dapat mengangkat dirinya naik, tanpa semua strata yang sangat berkuasa dalam masyarakat dilepaskan ke udara.
Walau tidak dalam substansi, namun dalam bentuk, pertentangan proletariat dengan kaum borjuis mulanya merupakan sebuah pertentangan nasional. Proletariat masing-masing negara harus, tentu saja, terutama menyelesaikan masalah dengan kaum borjuis-nya sendiri.
Dalam menggambarkan fase-fase paling general dari perkembangan proletariat, kita menapaki lebih kurang perang sipil yang terselubung yang berkobar dalam masyarakat yang ada hingga ke titik dimana perang ini pecah menjadi revolusi terbuka dan dimana penggulingan dengan kekerasan atas kaum borjuis meletakkan landasan bagi kekuasaan proletariat.
Sampai saat ini, setiap bentuk masyarakat didasarkan, seperti telah kita lihat, pada antagonisme kelas yang menindas dan yang ditindas. Namun, dalam rangka menindas sebuah kelas, kondisi-kondisi tertentu harus diyakinkan padanya dimana ia dapat, sekurangnya, meneruskan eksistensi perbudakannya. Budak, dalam periode perbudakan, mengangkat dirinya kepada keanggotaan dalam komune, seperti juga borjuasi kecil, di bawah penindasan absolutisme feodal, berhasil berkembang menjadi borjuis. Para pekerja modern, sebaliknya, selain tumbuh bersama kemajuan industri, tenggelam lebih dalam di bawah kondisi-kondisi eksistensi kelasnya sendiri. Ia menjadi orang fakir, dan kefakiran berkembang lebih cepat daripada populasi dan kemakmuran. Dan disini ia menjadi bukti bahwa borjuasi tidak pantas lagi menjadi kelas penguasa dalam masyarakat dan untuk menentukan kondisi-kondisi eksistensi atas masyarakat sebagai sebuah hukum yang dikesampingkan. Ia tidak cocok untuk memerintah karena ia tidak berkompeten untuk menjamin budaknya dan perbudakan mereka, karena ia tidak dapat menahan membiarkan mereka tenggelam dalam semacam suatu negara dimana ia harus memberi makan mereka, di samping diberi makan oleh mereka. Masyarakat tidak dapat lama hidup di bawah borjuasi ini; dengan kata lain, eksistensinya tidak bertahan lama untuk harmonis dengan masyarakat.
Kondisi esensial bagi eksistensi dan kekuasaan kelas borjuis adalah formasi dan penambahan kapital; kondisi bagi kapital pekerja upahan. Pekerja upahan secara eksklusif bersandar pada kompetisi antara para pekerja. Kemajuan industri, yang kebetulan saja promotornya adalah kaum borjuis, menggantikan isolasi para pekerja, berkaitan dengan kompetisi, oleh kombinasi revolusioner mereka, berkaitan dengan asosiasi. Perkembangan industri modern, karenanya, memotong dari bawah kaki landasan dimana borjuasi menghasilkan dan mengapropriasikan produk. Apa yang karenanya dihasilkan borjuasi, di atas segalanya, adalah para penggali kuburnya sendiri. Kejatuhannya dan kemenangan proletariat secara sama adalah tidak dapat dihindarkan.

Jumat, 23 Juli 2010

Ketika (Buruh) Menjadi Sebuah Pengantar

“kehidupan buruh tak pernalh lepas dari penderitaan dimana penderitaan itu dibuat dan direncana oleh para penindas.”

Buruh adalah penamaan yang diberikan untuk sekelompok kaum pekerja , kuli ,petani,pegawai pemerintah,buruh kereta api,perkebunan,industri jasa dan lain-lain.
Begitulah pemakaian istilah buruh atau yang biasa didefinisikan kaum pekerja,saat Indonesia mengalami peristiwa colonial pada masa dinasti belanda. Konotasi buruh mulai terspesialisasi saat negeri ini berada di bawah kepemimpinan Orde Baru , dimana hanya para pekerja pabrik atau pekerja upah harian yang disebut buruh . Hari ini ,pemakaian istilah buruh tetap sama dengan istilah buruh pada Orde Baru . Tapi, apapun itu mengenai istilah buruh tetaplah mereka ialah kaum pekerja yang diperkerjakan oleh atasan atau majikan.
Sengketa lahan, minimnya lapangan pekerjaan dan urbanisasi merupakan dampak dari globalisasi yang sekarang terjadi . Indonesia yang belum sepenuhnya tepat disebut sebagai konsep Negara bangsa menjadi negeri ini sebuah pelabuhan imperialisme lama dan imperialisme baru . Di temukannya Alat atau mesin produksi pengganti manusia membawa dampak social ekonomi bagi kaum pekerja .Dimana mereka yang dulu menggantungkan nasib pada sebuah industri perusahaan kini tergeser lewat mesin produksi yang mampu mewakilkan tenaga manusia dalam membuat suatu hasil produksi barang .
Kelas social terbentuk dimana ketika sebuah peradaban membuat tolak ukur kehidupan dengan membedakan jenis kasta pekerjaan dalam dinamika kehidupannya . Perbedaan itu nampak pada kaum pekerja dan para Majikan atau pemilik modal . Kaum pekerjapun terbagi menjadi golongan-golongan yang mengerucut menjadi jurang kehinaan dalam bersosial . Kaum pekerja menengah dimana terdapat mandor / residen , pegawai pemerintah , guru , dosen , dan para buruh tetap . Kaum pekerja bawah dimana terdapat pembantu , kuli bangunan ,dan kaum pekerja yang di upah harian atau kurang lebih yang menggantungkan nasib pada hari-harinya bekerja . Disinilah terbentuk sebuah pola penindasan antar kelas ,entah apa yang membentuk itu .
Dilihat secara histories masalah-masalah social atau masalah yang timbul akibat kelas social serasa membatasi ruang social kaum pekerja dan kaum yang dipekerjakan . Ini pun membawa dampak pada kancah perpolitikan . Globalisasi yang katanya dapat menyatukan ras,golongan dan kelas social di dunia ternyata terbalik , globalisasi membawa dampak pada pemusnahan kelas-kelas miskin ,maksudnya globalisasi membentuk pola yang kaya semakin kaya dan yang miskin semakin miskin .
Pada era dinasti belanda dan Indonesia yang saat itu sudah memasuki tahap pembentukkan konsep sebuah bangsa terdapat sebuah “politik etis” . Kegiatan balas budi yang diberikan terhadap koloni . Rakyat Indonesia pada saat itu diberi sedikit ruang untuk berpolitik dan berpendidikan . Sesungguhnya jauh sebelum politk etis kondisi indonesia pun tak jauh dengan adanya politik etis ,ini berlandaskan pada sebuah makna yang mana penindasan tetap penindasan , penjarahan terhadap kekayaan sebuah bangsa yang tak terbayar secara adil membuat kesengsaraan yang di akibatkan berbagai macam modus penindasan .
Perjalanan buruh pada saat dinasti belanda tak dapat terpisahkan dengan bentuk pergerakannya . Pergerakan yang mana mereka mereka dari tahun ke tahun sampai pada saat dinasti reformasi tetap menuntut Upah dan kondisi kerja yang layak . Yang emmebedakan pergerakan buruh pada saat dinasti belanda yaitu pergerakannya terselip politik yang mana bukan hanya memperjuangkan upah dan kondisi kerjanya tapi pergerakan yang mengupayakan pada pelepasan kerangkeng penjajahan belanda kala itu . Meskipun kapasitor buruh hanya sebagai pemain figuran atau yang tepatnya mereka menjadi pejuang garis depan ketika ada sebuah peperangan ,dan buruh kala itu menjadi kartu mati sebuah permasalahan yang dapat ditimbulkan sehingga dapat menajdi sebuah pemberontakkan.
Walhasil revolusi 45 telah menancapkan sang merah putih di atas patung liberti . Indonesia belum memasuki masa kemerdekaan yang sesungguhnya ,itu terdapat pada UUD kita ,yang mana kita baru sampai kedepan pintu gerbang kemerdekaan dan belum sedikitpun kita merdeka dari segala macam bentuk penindasan . Bahwasannya banyak persoalan yang terjadi di negeri tercinta ini , penjajahan kulit putih terhadap kita serta penjajahan produk-produk cina terhadap pasar industri kita dan yang lebih menginjak kita yaitu penjajahan cina kulit hitam ( Pribumi menjajah pribumi ) yang terjadi di segala bidang dalam sendi-sendi kehidupan kita .Secarik pernyataan yang menegaskan bahwa “ besar pasak dari pada tiang “ itulah dinamika yang terjadi pada para kaum pekerja kita yang mana sulit untuk menghidupi diri dan keluarga mereka manakala upah yang mereka terima tidak sesuai dengan kebutuhannya . Mereka pun terbentur pada harga kebutuhan yang tidak selalu stabil yang membuat mereka harus mengurangi jatah susu ubtuk anak mereka dan menggantikan Ubi sebagai nasi ,makanan pokok untuk mereka makan sehari-hari.
Sekarang sudah banyak terbentuk sarikat-sarikat buruh yang mana sebelum di keluarkannya SK Menteri Tenaga Kerja no.5 tahun 1998 hanya FSPSI ( Federasi Serekat Pekerja Seluruh Indonsia ) yang menjadi sarana organisasi berpolitik bagi para buruh berikut serikat buruh yang terbentuk hanya sebatas cabng-cabang wilayahnya. Adanya serikat buruh tidak dapat berjalan mulus . Serikat yang pada sifatnya sangat rentan dengan perpecahan,kedua adalah perbedaan pada orientasi serikat dan ketiga sifat yang eksklusif . Masalah ke-eksklusifan ini menjadi cirri pokok pada serikat ,ketika buruh memilih berserikat bagi kelompok-kelompok lain seperti golongan intelektual atau kaum pekerja liberal tidak dapat menarik perhatian dan buruh sulit mendapat dukungan bagi perjuangannya. Jikalau ada aliansi-aliansi yang terbentuk antara buruh , nelayan dan petani ,itupun sifatnya dipermukaan saja dan bukan merupakan strategi permanent dan melekat dalam keseluruhan strategi perjuangan mereka . Terkadang ke-ekslusifan terjadi antar sesama serikat yang mana penyebabnya ialah ke-eksistensian mereka pada serikat.
Lalu bagaimana dengan kaum intelektual seperti kita ini . Ataukah kita menutup dan membutakan mata kita terhadap dinamika kehidupan kaum pekerja yang mana mereka kaum pekerja telah dapat membangun suatu oraganisasi modern serta strategi-strategi pergerakannya dan kita sebagai intelektual hanya menganggap mereka adalah sebagian kecil dari proses terbentuknya suatu globalisasi.Bentuk perjuangan mereka adalah sendi dari pendidikan yang kita dapat . Tidak serta merta mereka terlupakan oleh sejarah kita .Dimana sejarah hanya terdapat peristiwa yang dilakukan oleh orang-orang besar ,orang-orang yang kita anggap “founding father” bangsa kita . Padahal jika berpaling ke esensi sejarah bahwa sejarah ialah peristiwa kemanusiaan yang tidak memandang suatu golongan ,kita seharusnya berkewajiban mengungkap bentuk-betuk peristiwa sekecil apapun yang pernah terjadi pada masa-masa yang pernah terlewati .
Lalu kemabali pada dinamika kehidupan buruh , dari masa ke masa hubungan perburuhan antara buruh-majikan seharusnya menjadi hubungan industrial yang harmonis ,dimana posisi buruh dan majikan adalah setara dan keduanya memiliki kepentingan yang sama serta dimana Negara berperan mengayomi keduanya . Kalau kata Eyang Marx “ Negara adalah tak lain dan tak bukan hanya menjadi alat penindas bagi satu kaum menindas kaum lainnya“.

Rabu, 21 Juli 2010

Mahasiswa dan Agent Of Change

Gelar Mahasiswa merupakan tingkatan tertingi dari strata pendidikan di negri ini. Selain merupakan tingkat teratas dalam rantai pendidikan, mahasiswa juga dikenal sebagai agen perubahan atau agent of change (kerennya). Selain gelar agen of change mahasiswa juga merupakan pilar-pilar demokrasi negri ini. Pemberian gelar agen perubahan oleh rakyat terhadap mahasiswa dikarenakan, rakyat berharap kepada mahasiswa agar menjadi pelita dalam gelap. Secara tidak langsung mahsiswa telah berperan sebagai pembela rakyat. Pembela nasib-nasib rakyat dan pembela dari kebijakan-kebijakan yang kontra terhadap rakyat. Rakyat sangat mengharapkan kepada para mahasiswa agar membela kepentingan mereka. Karena sesungguhnya dalam almamater seorang mahasiswa terdapat 20% uang-uang rakyat.

Melihat keadaan mahasiswa-mahasiswa belakangan ini apakah gelar agen perubahan (agent of change) masih pantas disandang oleh mereka. Gelar agent of change saat ini malah menjadi ambigu akibat ketidaksesuaian dengan kenyataannya. Meskipun saat ini organisasi-organisasi kemahasiswaan baik yang intra kampus atau ekstra kampus banyak bermunculan tetapi tetap tidak bisa memperbaiki citra mahasiswa yang kian hari kian buruk dimata rakyat. Organisasi kemahasiswaan intra kampus kebanyakan hanya dijadikan ajang eksistensi mahasiswa atau hanya di gunakan sebagai ajang ”unjuk gigi” dan organisasi ekstra kampus banyak yang dijadikan alat pengeruk massa oleh oknum-oknum yang tidak bertanggung jawab. Mahasiswa kini telah lupa akan tugas yang diembannya, telah melupakan dari mana mereka berasal. Bahkan parahnya Mahasiswa telah membentuk suatu kelas baru dalam kehidupan bermasyarakat.

Mahasiswa yang diharapkan akan membela rakyat atas hak-haknya malah kini berubah menjadi strata baru dalam kehidupan sosial. Mahasiswa saat ini sudah lupa akan adanya mereka, serta fungsi hakiki mereka. Tanggung jawab mereka hanyalah sebatas pada diri mereka sendiri. Tidak adalagi yang namanya ”atas nama rakyat” dan maka dari itu janganlah heran jika ada sekelompok mahasiswa aksi di pinggir jalan tidak diperdulikan oleh rakyat. Rakyat sudah tidak percaya lagi dengan semua hal yang di usung oleh para mahasiswa. Rakyat sudah terlebih dahulu disakiti maka jangan harap akan mau percaya lagi. Mengapa hal ini dapat terjadi, dan apakah dampaknya bagi kehidupan bernegara.

Mengapa hal ini dapat terjadi pertama, mahasiswa pasca reformasi tingkat intelektualitas tinggi tetapi tingkat kesadaran akan fungsinya yang rendah. Mengapa rendah karena, mereka kurang melatih kepekaan mereka terhadap segala peristiwa yang terjadi di sekitar mereka. Meskipun belakangan banyak aksi yang dilakukan oleh para mahasiswa. Berbagai jenis dan model aksi serta beragam topik di usung dalam setiap aksi. Tetapi mengapa rakyat tetap pasif ? karena, mahasiswa model sekarang jarang atau tidak sama sekali mengikut sertakan rakyat dalam setiap aksinya. Pengikut sertaan bukan berarti rakyat dan mahasiswa berbondong-bondong turun ke jalan. Tetapi yang dimaksudkan pengikut sertaan adalah kurangnya proses penyadaran mahasiswa terhadap rakyat. Berbeda dengan mahasiswa-mahasiswa pra-reformasi yang selalu mengikut sertakan rakyat dalam setiap aksinya. Bagaimana caranya? Caranya dapat melalu forum-forum diskusi terbuka. Cara ini sering dilakukan oleh Soekarno atau Tan Malaka dalam menggalang massa dan cara ini merupakan cara termudah untuk pendidikan rakyat khususnya pendidikan politik.

Lalu jika direfleksikan dengan keadaan mahasiswa kita saat ini bagaimanakah apakah masih layak gelar agen of change disandang. Kemudian jangan harap rakyat akan mendukung segala tindakan mahasiswa. Ada pepatah lama engatakan bahwa ”tak kenal maka tak sayang”. Pepatah ini sangat tepat jika digunakan sebagai cerminan hbungan mahasiswa kita dengan rakyat. Berbeda dengan yang terjadi di Indonesia, dinegara Korea Selatan dan Venezuela mahasiswanya didukung penuh oleh rakyat. Hal ini dikarenakan mahasiswa kedua negara tersebut setelah menjadi mahasiswa tetap tidak melupakan dari mana mereka berasal. Hal ini sangat terbalik 180 derajat dengan yang terjadi di negri kita. Dimana mahasiswanya lupa akan dari mana mereka berasal dan terlalu terbuai akan sebuah kondisi yang sungguh pragmatis.

Tetapi tidak semua mahasiswa telah lupa akan semua tujuan serta tugas mereka, karena masih banyak mahasiswa-mahasiswa yang ingat akan tugas yang diembannya selain tugas akademiknya. Mahasiswa yang seperti itulah yang dibutuhkan oleh rakyat, yang benar-benar sebagai agent of change. Meskipun jumlahnya kini tidak banyak, mengapa hal demikian dapat terjadi dikarenakan kebanyakan mahasiswa menganggap bahwa tugas mereka hanyalah menuntut ilmu dan pengabdian kepada rakyat hanya bisa dilakukan setelah mereka tidak lagi menjadi mahasiswa. Jadi, jika keadaan mahasiswa kita masih seperti ini apakah gelar agen perubahan atau agent of change masih layak disandang.

Senin, 19 Juli 2010

MPA AJANG PENGENALAN AKADEMIK ?

Masa Pengenalan Akademik atau biasa disebut MPA merupakan, kegiatan yang rutin dilaksanakan oleh pihak kampus sebagai tanda awal perkenalan kampus terhadap para Mahasiswa Barunya. Tujuan dilakukannya MPA ialah untuk membekali para MABA agar mengenali seluk beluk kampus yang nantinya akan menjadi tempat mereka menempa ilmu selama empat tahun lebih. Biasanya MPA dilakukan dalam tempo 5-6 hari lamanya, yang tersiri dari, MPA Fakultas dan MPA Jurusan. Pada moment MPA Para MABA diperkenalkan dengan kampusnya mulai dari sistem birokrasi sampai sistem pembelajaran. Pihak kampus juga mengharapkan dalam MPA terjalin hubungan kekeluargaan antara MABA dengan MABA atau MABA dengan para pembinanya.

MPA, mungkin pada kampus-kampus lain pada umumnya lebih dikenal dengan nama OSPEC. OSPEC dan MPA sebenarnya hanyalah tipis perbedaannya. Perbedaan OSPEC dan MPA yaitu, katannya OSPEC itu lebih kepada penggemblengan fisik, lebih keras, dan lebih tanpa tolerisasi. Tetapi apakah MPA sudah lebih baik dari OSPEC?, MPA sebenarnnya tidak lebih baik dari OSPEC hanya saja MPA mengunakan cara yang ”halus” dalam penggemblengan para MABA. Sebenarnya dalam MPA para MABA lebih ditekan secara mental ketimbang fisiknya. Contoh kecilnya ialah kewajiban membawa atribut perlengkapan MPA bagi para MABA. Bagi para panitia MPA hal tersebut merupakan hal yang memang sudah biasa tetapi yang harus diperhatikan apakah dampak hal tersebut bagi para MABA dan apakah para panitia memikirkan hal tersebut. Dapat kita ulas secara seksama dampak dan akibat dari kewjiban yang sebenarnnya tidak lah begitu bermanfaat.

Pertama, dalam kewajiban membawa atribut MABA harus mengeluarkan kocek lebih dari saku orang tuannya. Mungkin bagi MABA yang berkecukupan hal ini sangatlah sepele tetapi apakah hal ini sepele bagi MABA yang orang tuanya kurang mampu. Kedua, atribut yang digunakan MABA hanyalah sebagai hiasan atau kasarnya hanyalah barang tertawaan para panitia MPA dan sesungguhnya atribut-atribut tersebut tiada gunannya. Ketiga, ini merupakan dampak terburuknya yaitu, para MABA merasa tertekan mental dan batinnya sehingga mereka menjadi malas untuk mengikuti kegiatan MPA yang selanjutnya dan ini menjadi bukti dari kegagalan MPA itu sendiri. Lalu jika sudah begitu dimana sisi peng”Akademikan” dari kegiatan MPA itu sendiri.

MPA yang diharapkan dapat menjadi sarana bagi para MABA untuk mengenal kampusnya malah menjadi monster yang justru ditakuti oleh kebanyakan MABA. Tujuan indil dari MPA diabaikan oleh pihak-pihak yang takberakal sehat bahkan kegiatan MPA banyak yang dikomersialisasikan. Tentunya para MABA tak dapat berbuat apa-apa atas perlakuan yang diterimannya karena sekian banyaknya peraturan yang dibuat oleh para panitia MPA entah itu MPA Fakultas atau MPA Jurusan pasti peraturan terakhirnya ialah pernyataan bahwa ”Panitia Selalu Benar”.

Perubahan dari OSPEC menjadi MPA diharapkan dapat merubah anggapan bahwa penggemblengan Mahasiswa Baru ialah hanya perploncoan semata. Pihak kampus telah meninggalkan cara tersebut yang dianggap kurang manusiawi. Tidak ada lagi penggemblengan secara fisik atau kekerasan. Tetapi apakah benar itu sudah berjalan sesuai komitmen. Ajang MPA justru dijadikan ajang balas dendam serta penggunaan hak senioritas secara semena-mena. Memang tidak ada lagi kekerasan fisik tetapi yang ada kekerasan mental. Membunuh karakter seseorang sama dengan menyakiti banyak orang. Tidak jarang para MABA dijadikan badut-badut penghibur hati para senior atau biasa disebut kakak pembimbing. Apakah ini yang disebut tanpa ”kekerasan”. Jika MABA melawan maka MABA akan ditambah-tambah penderitaannya karena bertemu dengan peraturan seperti yang diatas. Hal inilah yang membuat ”gagalnya” tujuan MPA yang sesungguhnya. Mungkin dapat kita refleksikan sendiri-sendiri dalam pikiran kita ketidak patutan yang lain.

Sebaiknya pihak kampus menkoreksi kembali apakah MPA sudah sesuai dengan maksud dan tujuannya agar, tidak lagi terjadi ”penyelewengan” dalam kegiatan MPA yang dilakukan oleh pihak-pihak yang bertanggung jawab. Selain itu pihak jurusanpun harus serta-merta mengawasi berjalannya kegiatan MPA Jurusan. Bagi para panitia juga harus menkoreksi diri sendiri dan janganlah Masa Pengenalan Akademik dijadikan ajang balas dendam semata. Seharusnya yang kita lebih perhatikan adalah kata Akademik dalam singkatan MPA karena yang namanya Akademik ialah kegiatan yang mendidik dan sesuai dengan asaz kata Akademik. MPA jangan pula dijadikan ajang mencari unutng oleh Fakultas ataupun oleh Jurusan karena, para orang tua MABA sudah cukup terbebani dengan administrasi kampus dan diperparah setelah makin mantapnya BLU di kampus kita tercinta ini.