Selasa, 20 September 2011
Senin, 19 September 2011
Hak Atas Air Rakyat Dipertanyakan
Selasa, 24 Mei 2011
REFLEKSI DALAM MOMEN KEBANGKITAN
Jumat (20/5), siang itu di Bundaran Hotel Indonesia terdapat sekelompok pemuda yang tengah melakukan demonstrasi dalam rangka Hari Kebangkitan Nasional. Satu persatu mereka berorasi untuk menyampaikan tuntutannya. Tema yang mereka angkat adalah “Kebangkitan Melawan Rezim Penindas Rakyat”. Sejarah telah merekam bahwa, selama ratusan tahun bangsa Indonesia telah menjadi budak di negerinya sendiri. Pada masa kerajaan rakyat bersikap patronisme terhadap rajanya. Pada masa colonial sifat patron itu tidaklah berubah, hanya bergeser kepada bangsa kulit putih yang berperan sebagai penjajah. Hal bodoh itu berlangsung selama ratusan tahun, dan berakhir pada masa politik Etis dimana semua orang ”bebas” berpendapat.
Hari Kebangkitan Nasional (selebihnya ditulis HARKITNAS) merupakan suatu pertanda bahwa bangsa Indonesia yang sebelumnya lebih dikenal sebagai bangsa pekerja mulai sadar akan pentingnya berpolitik. Perayaan HARKITNAS tiap tahun sangatlah meriah. Peringatan dilakukan dengan berbagai cara salahsatunya, dengan upacara bendera. Tetapi apakah benar hari ini kita telah memaknai HARKITNAS sebagaimana mestinya.
Berbicara mengenai sebuah Kebangkitan Nasional berarti juga membicarakan Hak Asasi Manusia, khususnya Hak sebagai manusia indonesia yang merdeka. Sampai hari ini masih banyak terjadi berbagai pelanggaran hak asasi di Indonesia. Kasus yang belum lama ialah pelanggaran hak asasi petani yang dilakukan oleh oknum militer. Militer yang seharusnya menjadi pelindung kedaulatan bangsa dan rakyatnya, hari ini telah menjadi momok menakutkan dimata rakyat. Seharusnya senjata yang mereka gunakan ialah untuk membela batas wilayah NKRI tetapi, malah digunakan untuk menembak rakyatnya sendiri. Itu contoh kecil dalam pelanggaran hak asasi manusia yang dilakukan oleh militer yang notabene alat pelindung rakyat.
Kaum buruh juga tidak luput dari pelanggaran hak asasi. Para TKI yang digadang-gadang menjadi pahlawan devisa diluar negeri sungguh tidak berharga. Mereka disiksa dan tidak digaji. Pemerintah yang menggadang-gadang malah angkat tangan dan tidak tahu menahu dalam hal ini. Selain itu tidak hanya TKI tetapi juga, buruh pabrik dan buruh tani tidak luput dari pelanggaran hak asasi. Pemerintah dengan sistem Outsourchingnya membuat buruh berada ditengah-tengah. Antara memilih mengenggur untuk haknya atau bekerja demi hidupnya. Buruh-buruh tani di pedesaan diperlakukanlayaknya hewan ternak. Mereka bekerja tanpa ada perlindungan dari pemerintah. Tak ayal mereka menjadi sasaran para tuan tanah dan rentenir yang menggerogoti hidup mereka.
Dalam hal pendidikan tidaklah jauh berbeda. Har ini pendidikan sudah menjadi barang komersil. Pendidikan hari ini diarahkan kepada pendidikan berbasis pasar. Dengan program SMK bisa pemerintah secara tidak langsung mengalihkan dungsi sekolah. SMK bukan menjadi pencetak tenaga ahli malah akan mencetak para buruh-buruh segar yang nantinya akan bekerja dalam ranah kapitalisme. Pemerintah juga terlalu memaksakan model pendidikan yang berpedoman kepada kurikulum nasional. Dampaknya tidaklah terjadi pemerataan pendidikan di Indonesia, dan UN pun bukan suatu jawaban yang tepat sebagai solusi.
Kebangkitan Nasional ialah bebas dari segala penindasan akan hak asasi manusia. Lantas apakah kita masih dikatakan telah bangkit sebagai suatu bangsa. Kebangkitan Nasional bukanlah euforia semata. Bukanlah romantisme dalam perjuangan masa lalu. Kebangkitan Nasional adalah bagaimana kita bekerja, dan melihat secara realitas yang ada.
Senin, 28 Februari 2011
Sneevliet: Dari Belanda Menebar Benih Radikalisme di Indonesia
Dalam pustaka sejarah, nama Sneevliet lebih identik sebagai penyemai ‘virus’ ideologi komunisme, yang dibawanya dari Belanda. Sasarannya bukan hanya orang-orang Belanda yang ada di Indonesia, melainkan juga orang-orang Indonesia. Di negeri asalnya, dia adalah petaka bagi rezim. Kepalanya terlalu keras untuk ditundukkan. Akibatnya, dia masuk daftar buronan, yang siap diseret ke penjara kapan saja.
Bernama lengkap Hendricus Josephus Franciscus Marie Sneevliet, kita lebih mengenalnya dengan nama nama Sneevliet. Ia lahir di Rotterdam, 13 Mei 1883. Proses berpolitiknya dimulai ketika tahun 1901, dia bekerja sebagai buruh di sebuah pabrik di Belanda. Akhirnya, pada usia 20–an, dia mulai berkenalan dengan gelanggang politik. Ia bergabung dalam Sociaal Democratische Arbeid Partij (Partai Buruh Sosial Demokrat) di Nederland hingga tahun 1909, yakni sebagai anggota Dewan Kota Zwolle. Setelah itu dia diangkat sebagai pimpinan serikat buruh kereta api dan trem (National Union of Rail and Tramway Personnel) pada tahun 1911.
Di organisasi baru inilah, Snevlieet menunjukkan watak sejatinya, berani, dan tak pernah menyerah. Dia memimpin pemogokan-pemogokan buruh di Belanda, sehingga membuat namanya masuk dalam ‘daftar hitam’ di Belanda. Keberanian ini pastilah membuat rezim takut. Lewat federasi serikat buruh, yang dikuasai oleh pemerintah, dibuatlah cara untuk menekan Snevlieet. Sehingga, jabatan sebagai ketua serikat buruh kereta api cuma setahun dipegangnya. Pada tahun 1912, ia mengundurkan diri, setelah terjadi konflik yang panas antara serikat buruh yang dipimpinnya dengan federasi serikat buruh. Peristiwa itu terjadi setelah terjadinya pemogokan buruh-buruh kapal, di mana Sneevliet berdiri sebagai pimpinan aktif dalam pemogokan itu. Lepas dari aktivitasnya di Serikat Buruh, sempat membuat Sneevliet bimbang, ia bahkan berniat untuk mundur dari ranah pergerakan. Beralihlah dia ke dunia perdagangan, dan inilah jalan yang membawanya berkelana sampai ke Indonesia
Tahun 1913, untuk kali pertama, ia menginjakkan kaki ke Indonesia. Tepat pada saat itu, dunia pergerakan di Hindia Belanda tengah bersemi. Sneevliet, yang pada awalnya bekerja sebagai jurnalis di sebuah harian di kota Surabaya, mulai terusik untuk kembali berpolitik. Namun saat itu kondisi kerjanya masih belum mapan, ia pindah ke Semarang dan diangkat menjadi sekretaris di sebuah perusahaan.
Mendirikan ISDV
Hasrat politiknya rupanya tak bisa ditahan-tahan. Dia sempat aktif menjadi sekretaris dari Handelsvereeniging (Asosiasi Buruh) di Semarang. Pada tahun 1914, ia mendirikan sebuah organisasi politik yang diberi nama Indische Sociaal Democratische Vereniging (ISDV). Awalnya anggotanya hanya 65 orang, yang kesemuanya adalah orang Belanda dan kalangan Indo-Belanda. Sneevliet masih belum yakin untuk merekrut anggota dari kaum bumi putra. Dalam waktu setahun kemudian, organisasi tersebut mengalami perkembangan pesat menjadi ratusan anggotanya. Perkembangan tersebut tak terlepas dari peranan koran organisasi berbahasa Belanda, Het Vrije Woord yang menjadi corong propaganda ISDV. Beberapa tokoh Belanda yang aktif membantu Sneevliet adalah Bergsma, Adolf Baars, Van Burink, Brandsteder dan HW Dekker. Di kalangan pemuda Indonesia tersebut nama-nama Semaun, Alimin dan Darsono. Pengaruh ISDV juga meluas di kalngan buruh buruh kereta api dan trem yang bernaung dibawah organisasi Vereniging van Spoor Tramweg Personal (VTSP).
Dalam waktu yang bersamaan, pergerakan di Hindia Belanda tengah mengalami masa terang. Sarekat Islam, terus membesar dengan jumlah anggota mencapai puluhan ribu yang tersebar di berbagai daerah. Oleh karena itu ISDV, merubah haluan untuk menitik beratkan pengorganisiran pada anggota-anggota maju dari Sarekat Islam, dan inilah cikal bakal generasi pertama perekrutan kader-kader Marxis.
Pada bulan Maret 1917 Sneeveliet menulis artikel berjudul Zegepraal (kemenangan), yang memuliakan Revolusi Februari Kerensky di Rusia dengan kata-kata:
Telah berabad-abad disini hidup berjuta-juta rakyat yang menderita dengan penuh kesabaran dan keprihatinan, dan sesudah Diponegoro tiada seorang pemuka yang mengerakan massa ini untuk menguasai nasibnya sendiri. Wahai rakyat di Jawa, revolusi Rusia juga merupakan pelajaran bagimu. Juga rakyat Rusia berabad-abad mengalami penindasan tanpa perlawanan, miskin dan buta huruf seperti kau. Bangsa Rusia pun memenangkan kejayaan hanya dengan perjuangan terus-menerus melawan pemerintahan paksa yang menyesatkan. Apakah penabur dari benih propaganda untuk politik radikal dan gerakan ekonomi rakyat di Indonesia memperlipat kegiatannya? Dan tetap bekerja dengan tidak henti-hentinya, meskipun banyak benih jatuh di atas batu karang dan hanya nampak sedikit yang tumbuh? Dan tetap bekerja melawan segala usaha penindasan dari gerakan kemerdekaan ini?Maka tidak bisa lain bahwa rakyat di Jawa, diseluruh Indonesia akan menemukan apa yang ditemukan oleh rakyat Rusia: kemenangan yang gilang gemilang.
Organisasi ISDV bergerak cepat dengan strategi mereka untuk merekrut massa dari SI. Pengaruhnya yang kuat ternyata mengkhawatirkan pemerintah Hindia Belanda, sebab pada saat yang sama, pemogokan-pemogokan buruh bertambah kuat dan meluas. Semaun, Darsono dan Alimin, adalah pimpinan-pimpinan SI Semarang yang berhasil direkrut oleh Snevlieet. Mereka punya kesamaan pandangan, prinsip-prinsip ideologi radikal dengan ISDV. Pada akhirnya perpecahan di tubuh SI tak terelakkan, perpecahan antar sayap moderat dan sayap radikal. SI Putih yang dipimpin HOS Tjokroaminoto, H.Agus Salim dan Abdul Muis, serta SI Merah yang dikepalai oleh Semaun dan teman temannya.
Kemenangan revolusi Rusia makin banyak jadi bahan perbincangan rakyat. Agar pengaruh ISDV tidak semakin mengeruhkan situasi, yang dikhawatirkan memberi kemungkinan terjadinya pemberontakan rakyat, maka pemerintah Hindia Belanda menyusun rencana untuk menangkap Sneevliet dan menyeseretnya ke pengadilan. Sneeliet pun, pada bulan Desember 1918, akhirnya diusir dari Indonesia karena aktivitas politiknya.
ISDV pun mulai kehilangan kendali akibat para pimpinannya diusir dari Indonesia. Juga mulai dijauhi massa akibat prinsip-prinsip radikal mereka yang masih belum bisa dipahami massa. Semaun pun mengambil keputusan, mengganti ISDV menjadi Partai Komunis Hindia pada 23 Mei 1920. Tujuh bulan kemudian, partai ini mengubah namanya menjadi Partai Komunis Indonesia. Semaun terpilih sebagai ketua.
Akan halnya dengan Snevlieet, ia diproses oleh jaksa dan hakim Belanda dari pemerintahan Hindia Belanda. Seorang Belanda kontra Belanda; tetapi juga seorang sosialis kontra kolonialis. Di depan pengadilan yang terjadi pada bulan November 1917, ia membacakan pidato pembelaannya setebal 366 halaman. Pidato pembelaanya itulah yang merupakan sumber referensi mengenai ajaran-ajaran sosialisme secara ilmiah, yang dipakai oleh banyak pemimpin-pemimpin bangsa kita. Salah satunya adalah Indonesia Menggugat, pidato pembelaan Bung Karno ayang dibacakan di muka Pengadilan di Bandung pada tahun 1930. Pledoi setebal 183 halaman itu jelas-jelas menunjukkan pengaruh yang besar sekali dari jalan pikiran Sneevliet yang dikembangkannya di tahun 1917.
Sejak saat itulah ajaran-ajaran Marxisme meluas di Indonesia. PKI berdiri di Semarang, pada tahun 1920 dengan Semaun-Darsono yang mempeloporinya. Di Surabaya Tjokroaminoto dari Serikat Islam, mulai juga memakai referensi-referensi kiri dan literatur yang disebut oleh Sneevliet di dalam pembelaannya, seperti: artikel Das Kapital-nya Marx.
Berbagai literatur tersebut mulai mulai dicari-cari beberapa aktivis. Ada juga yang berusaha mendapatkannya dengan membeli dan meminjam dari toko buku ISDV, dan dikaji di rumah Tjokroaminoto bersama-sama Surjopranoto, Alimin dan lain-lain. Termasuk salah satunya adalah Bung Karno, pemuda cerdas yang tahun 1916-1920 indekos pada keluarga Tjokroaminoto, seorang tokoh pergerakan di Surabaya. Hal tersebut diakuinya dalam sebuah surat yang ditulisnya saat dia menjalani masa pembuangan di Bengkulu, tahun 1941:
“Sejak saya sebagai seorang anak plonco, untuk pertama kalinya saya belajar kenal dengan teori Marxisme dari mulut seorang guru HBS yang berhaluan sosial demokrat (C. Hartough namanya) sampai memahamkan sendiri teori itu dengan membaca banyak-banyak buku Marxisme dari semua corak, sampai bekerja di dalam aktivitas politik, sampai sekarang, maka teori Marxisme bagiku adalah satu-satunya teori yang saya anggap kompeten buat memecahkan soal-soal sejarah, soal-soal politik, soal-soal kemasyarakatan.”
Terinspirasi oleh gerakan revolusi yang dilakukan oleh Bolshevik, ISDV mulai mengorganisir kalangan militer dengan membentuk dewan-dewan tentara dan pelaut. Dalam waktu tidak lebih dari tiga bulan sekitar tiga ribu prajurit dan pelaut menjadi anggota gerakan yang kemudian dikenal dengan nama tentara merah. Akan tetapi, tanpa diduga, waktu kemudian berjalan bertolak belakang dengan semangat revolusioner yang tengah berkembang. Revolusi Rusia yang menjadi perspektif bagi tumbuhnya revolusi Eropa dan negeri-negeri lain di Eropa, di belahan Eropa lainnya justru mengalami kekalahan dan diberangus, termasuk di Belanda. Akibatnya kemudian berimbas pula pada pergerakan di Indonesia. Reaksi juga menjalar ke Hindia Belanda, anggota-anggota tentara merah dan anggota ISDV ditangkap dan dipenjara, seiring dengan kekalahan dan gerakan revolusi Belanda.
Langkah Sneeviet pun masih belum terhenti. Pada 1920 dia hadir pada Kongres Kedua Komintern di Moskow sebagai perwakilan dari ISDV. Dan dari 1921 hingga 1923 menjadi perwakilan dari Comintern di China. Sekembalinya ke Belanda, dia menjadi ketua Sekretariat Nasional Buruh. Pada tahun 1929, dia mendirikan Partai Sosialis Revolusioner dan terpilih sebagai ketuanya. Setelah penggabungan partainya berubah nama menjadi Revolutionary Socialist Workers' Party, dimana Sneevliet menjadi sekretaris pertama dan kemudian kemudian menjadi ketua hingga 1940. Dia juga sempat menjadi anggota Parlemen dari 1933 hingga 1937. Pada saat perang Dunia Kedua dia memimpin grup pertahanan bernama Marx-Lenin-Luxemburg-Front. Dia kemudian tertangkap dan dieksekusi pada tahun 1942.
Rabu, 16 Februari 2011
Pemuda yang Terpenjara
Secara etimologis ruang dapat didefinisikan lebih dari seribu makna kata. Tapi apakah sebenarnya ruang itu. Ruang, sebuah tempat, rongga yang dapat terisi baik dengan udara, kegiatan, benda cair, manusia, pikiran. terlalu luas. Bila kita ingin menerjemahakan sebuah kata ini. Akan tetapi coba kita tambahkan sedikit huruf setelah kata ruang. Seperti 304, 306, 305. tentunya kita semua dapat dengan segera menangkap apa sebenarnya ruang yang dimaksud.
Ruang ruang tersebut dengan setia menemani kita yang selalu ingin belajar atau hanya sekedar meunaikan kewajiban kehadiran dalam mata kuliah tertentu. Ruang tempat mencurahkan waktu, biaya, bahkan kearifan kita untuk peduli terhadap lingkungan sekitar. Beribu pertanyaan dan persoalan coba kita diskusikan bersama lewat ruang tersebut. 304, 306, 305, 309, dan seterusnya menjadi ruangan yang ramai. Dipenuhi oleh para mahasiswa yang amat tertarik dengan masa lalu, masa dimana merupakan sebuah alasan kenapa kedaan seperti ini terjadi.
Dalam hal ini tentunya bersama kita telah mengetahui bahwa mahasiswa tersebut adalah kita mahasiswa sejarah. Seorang anak manusia yang peduli bagaimana Ki Hadjar Dewantara membentuk kurikulum, bagaimana ribuan orang dibantai dengan dalih gerakan separatis, kemudian bagaimana sila pertama Piagam Jakarta diubah. Mahasiswa sejarah. Sejarah merupakan sains. Sejarah merupakan kejadian yang benar benar terjadi pada mas lampau. Yah peristiwa yang benar terjadi. Apakah ada yang dapat memastikan kebenarannya? Sampai saat saat terakhir kurikulum atau bahkan buku untuk pelajaran sejarah SMA masih tidak jelas keberadaannya.
Apakah kalian yang nantinya bergelar ‘S.pd’ akan diam? Mulanya pendidikan pada masa kolonial dilaksanakan di Indonesia memang untuk mendapatkan tenaga murah bagi pemerintah Hindia Belanda, khususnya dalam bidang administrasi. Berdalih mengeluarkan politik etis dengan alasan balas budi terhadap apa yang telah Belanda ambil dari tanah air maka menyediakan pendidikan bagi rakyat kebanyakan. Namun hari ini kita saksikan sendiri betapa dunia pendidikan tidak ada ubahnya seperti kolonial dulu.
Guru yang telah lulus mendapatkan gelar Spd hanya menjadi tenaga murah untuk menjalankan pendidikan model barat yang sedang trend di Indonesia. Dipaksa memberlakukan kurikulum kurikulum yang membuat peserta didik berkesadaran naif. Kurikulum membuat para peserta didik menurut kepada apa yang dikatakan oleh guru, bukan mengkritisi. Hasilnya adalah siswa yang takut tidak lulus ujian. Bahkan telah terenggut haknya untuk mengeluarkan pendapat dengan tugasnya mengisi LKS. Mungkin semua bisa menjadi sesuatu yang penting didiskusikan oleh rekan rekan sekalian.
Mahasiswa yang seharusnya memiliki kesadaran sejarah yang tinggi. Mengingat kejayaan Majapahit, Sriwijaya, dan banyak kerajaan kerajaan lainnya, meskipun kita ini adalah sebuah negara sekarang. Akan tetapi dimanakah orang orang seperti Hatta, Tan Malaka, Soekarno, Syahrir, Soetomo? Jiwa jiwa yang beranai melawan cambuk kolonial dan mengorbankan dirinya untuk rakayat akanakah hilang? Mereka tidak gentar dipenjara, meninggalkan keluarga. Bahkan mati tanpa pemakaman, mungkin kita telah terlupa akan hal itu, atau mungkin sengaja melupakan. Tentang kisah sekelompok pemuda yang mengukir sejarah bangsa Indonesia lewat sumpah pemuda pada tahun 1928.
Dimanakah kau wahai para pemuda? Dirimu kini sedang dinina bobokan oleh pembatasan masa studi tujuh tahun. Sedang dibelenggu dengan ketentuan menjalankan lebih dari 100 sks untuk membuat skripsi. Dirimu sedang tidur terlelap bersama sinetron yang disajikan oleh televisi. Atau dirimu sedang merenung memikirkan perginya sang kekasih yang amat dicintai. Bangunlah wahai pemuda. Mahaiswa adalah pemuda yang beruntung bisa mengenyam bangku kuliah. Membangun bangsa dengan pengetahuan. Bukan menjadai antek penguasa lewat iming iming uang jajan.
Harris Malikus M
Mahasiswa Jurusan Sejarah
Rabu, 26 Januari 2011
serial CERPEN
Sendu Sunyi
Karni berdiri di bawah daun pintu gubuknya. Jari-jarinya yang kurus menggaruk-garuki rambutnya yang kusut dan ikal karna tak pernah merasakan sejuknya sampo. Tubuhnya kurus kering hingga, buah dadanya nampak kempis kosong tak berisi dan perutnya agak membuncit akibat buruknya makanan yang diperolehnya. 60 gram perhari sungguh sangat tidak mencukupi. Itupun bukanlah beras yang mengisi perutnya, tetapi hanya bulgur yang iya beli di toko milik saudagar Cina. Sawah yang merupakan ladang penghidupan keluargannya telah lama berpindah tangan akibat perangkap setan. Batang padi berganti dengan hamparan ribuan pohon tebu. Suaminya telah lama mati karena tak sanggup menanggung derita kenistaan lagi. Dengan napas yang kempas kempis Karni harus terus membanting tulang. Meneer itu masih baik hati padanya. Ia diizinkan untuk bekerja sebagai buruh harian di ladang tebu miliknya. Ya diladang sawahnya yang kini telah disulap menjadi perkebuanan tebu milik seorang Meneer Belanda. Upahnya hanya sebesar 20 sen bahkan terkadang bukanlah uang yang diterimanya tetapi, hanyalah sekantung bulgur dan terkadang sekantung beras yang rendah mutunya, penuh kutu.
Istananya hanyalah sebuah gubuk yang berada tak jauh di pinggir ladang tebu yang dulu adalah sawah miliknya. Sebuag gubuk yang beratapkan daun-daun rumbia dan berdindingkan anyaman bambu penuh lubang. Gubuk yang sekirannya lebih pantas sebagai kandang sapi itu di isi oleh dirinya dan tiga orang anaknya. Tiga orang bocah-bocah yang masih ingusan, kurus, dan kumal. Bahkan tulang rusuknya seperti ingin mencuat dari dadanya. Gubuk itu merupakan satu-satunya harta warisan dari mendiang suami tercinta, yang telah berpulang ke hadapan dewata sana. Entah dimana dia sekarang Nirwanakah. Entahlah. Sawah warisan yang tak seberapa luas telah habis akibat jeratan hutang. Hutang untuk menyambung kehidupan. Karni terjerat oleh seorang haji yang tak lain merupakan lintah darat desannya. Kini hidupnya hanyalah berpasrah, dan ia pun tak peduli jika ajal menjemputnya. Baginya hidup dan mati apalah artinya. Sama saja.
Setiap malam yang ia kerjakan hanyalah terbenam dalam lamunan yang tak henti-hentinya. Memikirkan mengapa nasibnya yang sangat buruk, tragis dan amat memilukan. Ia selalu bertanya mengapa dewa tak adil padannya. Menyalahkan nenek moyang yang sedari dulu selalu miskin dan hina, yang akhirnya tiba pada dirinya. Sempat muncul suatu pertanyaan apakah para Dewa itu benar-benar ada. Padahal menurutnya dirinya merupakan hamba yang taat. Hamba yang selalu meyembah Dewa, selalu peduli dan mengucapkan seribu puji pada Dewa. Setiap pagi selalu ia letakan sesaji untuk para dewa-dewa penunggu nirwana, meskipun hanya secuil bulgur dan segelas air sumur. Tetapi mengapa sepertinya Dewa tak memperdulikannya. Apakah karena sesaji yang ia suguhkan. Huh. Jika begitu apalah arti Dewa gumamnya dalam relungnya yang terdalam.
Sesekali ia layangkan pandang ke daun jendela. Di kejauhan sana nampak olehnya rumah haji Katmono, tengkulak dan sekaligus lintah darat di desanya. Rumah yang sangat besar pikirnya, dan entah sudah berapa ratus orang miskin hina yang telah menjadi korbannya. Ia memejamkan mata sejenak dan merasakan bahwa tubuhnya melayang hingga nirwana. Apakah aku telah mati, pikirnya. Slagi melayang tubuh yang kurus itu jatuh kencang menabrak bumi. Dan kesadarannya kembali. Kembali terlihat olehnya rumah haji Katmono. Hah, Haji pikirnya. Manusia yang seharusnya suci karena gelarnya. Terkadang ingin sekali rasanya tangannya mencabik-cabik dan menerkam wajah haji Katmono. Sungguh iblis bertopeng malaikat laknat. Namun ia kembali dalam lamunanya. Hanya lamunan. Wajah haji Katmono terus membayang dalam lamunan. Kemudian tergambar kembali sebuah peristiwa yang memilukan hatinya. Ketika haji Katmono bersama seorang kacungnya datang ke gubuknya. Hendak menagih hutang-hutangnya tetapi, Karni hanya bisa menatap nanar dan pasrah. Karena jengkel tak mendapatkan hasil Haji Katmono lantas memerintahkan kacung bangsatnya untuk mengobrak abrik gubuknya . karni hanya bisa berpasrah. Berpasrah dengan ketiga anaknya dalam dekapan. Setelah puas kemudian berlalu.
Kali ini Karni tersentak, ketiga anaknya merengek setengah menjerit di sisi dipan pembaringannya. Ketiga bocah-bocah kurus dekil itu menangis sejadi-jadinya. Anak-anaknya kelaparan itulah sebabnya. Karni tersayat hatinya. Buah hati tercintanya kurus kering seperti orang-orangan sawah. Perut mereka membuncit sebesar bola sepak karena kurangnya asupan nutrisi. Karni bangkit dan menuju belakang rumah dan bocah-bocah itu turut pula. Di bukanya bakul tempat penyimpanan beras. Tapi sayang hanya kehampaan yang ia dapatkan. Bulgur terkhir telah habis dilahap kemarin. Muncul kembali pertanyaan di mana para Dewa. Karni hanya menatap melas kepada buah hatinya. Hatinya yang tegar dan sekuat induk singa hancur lebur seketika. Sungguh tragis dan menyayat hati. Oh Dewa dimana kalian. Kalian menghilang disaat hambamu membutuhkan engkau.
Karni kembali pada pembaringannya. Anak-anaknya telah terdiru pulas dalam kembung yang teramat sangat. Karni tak kuasa melihat buah hatinya meminum air dengan ganasnya hanya untuk mengganjal perut. Tanpa disadari pipinya telah basah oleh kucuran air mata. Entah sudah berapa lama mata ini tak menghasilkan air, gumamnya. Tak berapa lama kemudian ia pun tertidur dengan masih meneteskan air mata. Sungguh pilu derita Karni. Sungguh sebenarnya zaman telah berubah. Di tanah biru sana sudah terjadi sebuah perubahan besar. Seperti halnya kutub yang telah mendapatkan sinar mentari pertama setelah, malam selama beratus-ratus tahun. Musim Semi. Berbagai hal-hal baru bermunculan bagai bunga dalam taman firdaus. Tetapi di sini di Hindia sungguh amatlah lain ceritanya. Negri para dewa ini sepertinya takan kenal pagi. Malam terus merajai, entah sampai kapan. Bangsa mata biru sungguh telah menjadi dewa. Hanya karena mereka berkasut. Oh sungguh dunia apa. Dalam cerita pewayangan Jawa yang berkasut hanyalah pandita dan para dewa. Maka pantaslah jika mana orang kita takut bukan mainnya pada manusia pucat mata biru. Bahkan kengeriannya mengalahkan kengerian kepada Batara Kala. Oh Dewa sungguh kau tinggalah kiasan semata.
Mentari merona di ufuk timur Karni terbangun dari pembaringannya. Hari yang sama seperti kemarin. Langkah kakinya gontai dan sempoyongan menuju sumur yang terletak di belakang rumah. Setelah mandi dan minum air yang benyak sebagai pengganjal perut ia pergi bekerja. Dengan bekal sebilah arit di tangan yang merupakan satu-satunya perkakas warisan suaminya. Baginya hari ini sama saja seperti hari kemarin. Karni bagai pion catur dalam lingkaran setan yang tak kunjung usai. Kini ia tak lagi berdoa dan memuji Dewa. Untuk apa, menurutnya Dewa tak ubah seperti orang tua buta dan tuli. Kini hidupnya hanya ada pada tangannya. Di hadapannya terhampar puluhan ribu pohon tebu. Karni teringat kembali pada masa kecilnya. Dahulu ia sering bermain-main di pematang sawah yang kini telah menjadi hamparan tebu. Oh Dewa.
Mentari terus merangkak ke khatulistiwa. Tangan kurus dan kering itu terus bekerja. Hari yang lambat baginya. Terus menerus tanpa henti. Berhenti berarti hukuman, para mandor berjaga dengan cemetinya. Terus dan terus saja. Akhirnya mentari meluncur turun dan siap untuk kembali pada pembaringannya di poros barat. Tapi hari ini nampaknya lebih baik dari kemarin. Ia pulang tidak dengan tangan hampa. Beberapa potong jagung ia oleh-olehkan kepada buah hatinya. Jagung yang ia curi dari kebun seorang peranakan. Biar tahu rasa gumamnya. Kebun jagung itupun dulu milik kakeknya apa salahnya jika ia ambil sedikit pikirnya. Karni terus berjalan bergontai menuju istananya.
Sungguh betapa girang dan rakusnya buah hatinya melahap jagung-jagung sampai ke bonggolnya. Dan Karni hanya meringis tak kuasa. Sungguh malang buah hatinya. Kian hari kian ia rasakah bahwa dewa tak lagi membutuhkannya. Seperti biasa Karni berbaring dalam pembaringan. Kembali memulai aluran lamunan yang tak kunjung usai. Dan kembali para dewa melintas dalam bayangnya. Baginya dewa hanya berpihak pada si kaya. Berpihak kepada manusia yang memberikan sesaji termewah. Dewa tidak berpihak padanya. Dewa hanya tertawa melihat keadaannya. Diam-diam dalam hati ia menghujat nenk moyangnya yang terlahir miskin dan nista. Menghujat dirinya mengapa menikah dengan seorang miskin dan hina pula. Andai ia terlahir rupawan nan jelita. Pastilah ia lebih memilih menjadi gundik dari pada harus menikah dengan pria miskin dan hina seperti almarhum suaminya. Sungguh Dewa tak adil padanya.
Tak lama Karni tersentak, ketika pintu gubuknya di gedor dan riuh ramai orang telah berkumpul di depan gubuknya. Karni seperti seekor tikus sawah yang terjebak di sudut lubang. Pasrah mati hendak diterkam. Teriakan-teriakan dan hujanan batu mulai berdatangan. Karni hanya bisa bersedekap dengan buah hatinya di pojok gubuknya. Pintu gubuk rubuh dan poranda. Warga dan petugas keamanan menyeretnya keluar. Karni tak berdaya. Ia hanya dapat melihat buah hatinya menangis dan menjerit. Karni di seret hingga ke balai desa. Caci-maki serta hujan batu menerpa wajah dan tubuhnya. Tidak pernah seumur hidupnya ia do sorak-soraikan oleh sebegini banyak manusia. Ada rasa bangga juga terkuak dalam dirinya. Tapi sayang hanya batu dan hujanan air liur yang ia dapat. Lemas dan pasrah hana itulah yang terngiang di kepalanya. Sendu sunyi sinden melantunkan gending pelipur lara. Dan dewa hanya tertawa melihatnya.
LORO