Secara etimologis ruang dapat didefinisikan lebih dari seribu makna kata. Tapi apakah sebenarnya ruang itu. Ruang, sebuah tempat, rongga yang dapat terisi baik dengan udara, kegiatan, benda cair, manusia, pikiran. terlalu luas. Bila kita ingin menerjemahakan sebuah kata ini. Akan tetapi coba kita tambahkan sedikit huruf setelah kata ruang. Seperti 304, 306, 305. tentunya kita semua dapat dengan segera menangkap apa sebenarnya ruang yang dimaksud.
Ruang ruang tersebut dengan setia menemani kita yang selalu ingin belajar atau hanya sekedar meunaikan kewajiban kehadiran dalam mata kuliah tertentu. Ruang tempat mencurahkan waktu, biaya, bahkan kearifan kita untuk peduli terhadap lingkungan sekitar. Beribu pertanyaan dan persoalan coba kita diskusikan bersama lewat ruang tersebut. 304, 306, 305, 309, dan seterusnya menjadi ruangan yang ramai. Dipenuhi oleh para mahasiswa yang amat tertarik dengan masa lalu, masa dimana merupakan sebuah alasan kenapa kedaan seperti ini terjadi.
Dalam hal ini tentunya bersama kita telah mengetahui bahwa mahasiswa tersebut adalah kita mahasiswa sejarah. Seorang anak manusia yang peduli bagaimana Ki Hadjar Dewantara membentuk kurikulum, bagaimana ribuan orang dibantai dengan dalih gerakan separatis, kemudian bagaimana sila pertama Piagam Jakarta diubah. Mahasiswa sejarah. Sejarah merupakan sains. Sejarah merupakan kejadian yang benar benar terjadi pada mas lampau. Yah peristiwa yang benar terjadi. Apakah ada yang dapat memastikan kebenarannya? Sampai saat saat terakhir kurikulum atau bahkan buku untuk pelajaran sejarah SMA masih tidak jelas keberadaannya.
Apakah kalian yang nantinya bergelar ‘S.pd’ akan diam? Mulanya pendidikan pada masa kolonial dilaksanakan di Indonesia memang untuk mendapatkan tenaga murah bagi pemerintah Hindia Belanda, khususnya dalam bidang administrasi. Berdalih mengeluarkan politik etis dengan alasan balas budi terhadap apa yang telah Belanda ambil dari tanah air maka menyediakan pendidikan bagi rakyat kebanyakan. Namun hari ini kita saksikan sendiri betapa dunia pendidikan tidak ada ubahnya seperti kolonial dulu.
Guru yang telah lulus mendapatkan gelar Spd hanya menjadi tenaga murah untuk menjalankan pendidikan model barat yang sedang trend di Indonesia. Dipaksa memberlakukan kurikulum kurikulum yang membuat peserta didik berkesadaran naif. Kurikulum membuat para peserta didik menurut kepada apa yang dikatakan oleh guru, bukan mengkritisi. Hasilnya adalah siswa yang takut tidak lulus ujian. Bahkan telah terenggut haknya untuk mengeluarkan pendapat dengan tugasnya mengisi LKS. Mungkin semua bisa menjadi sesuatu yang penting didiskusikan oleh rekan rekan sekalian.
Mahasiswa yang seharusnya memiliki kesadaran sejarah yang tinggi. Mengingat kejayaan Majapahit, Sriwijaya, dan banyak kerajaan kerajaan lainnya, meskipun kita ini adalah sebuah negara sekarang. Akan tetapi dimanakah orang orang seperti Hatta, Tan Malaka, Soekarno, Syahrir, Soetomo? Jiwa jiwa yang beranai melawan cambuk kolonial dan mengorbankan dirinya untuk rakayat akanakah hilang? Mereka tidak gentar dipenjara, meninggalkan keluarga. Bahkan mati tanpa pemakaman, mungkin kita telah terlupa akan hal itu, atau mungkin sengaja melupakan. Tentang kisah sekelompok pemuda yang mengukir sejarah bangsa Indonesia lewat sumpah pemuda pada tahun 1928.
Dimanakah kau wahai para pemuda? Dirimu kini sedang dinina bobokan oleh pembatasan masa studi tujuh tahun. Sedang dibelenggu dengan ketentuan menjalankan lebih dari 100 sks untuk membuat skripsi. Dirimu sedang tidur terlelap bersama sinetron yang disajikan oleh televisi. Atau dirimu sedang merenung memikirkan perginya sang kekasih yang amat dicintai. Bangunlah wahai pemuda. Mahaiswa adalah pemuda yang beruntung bisa mengenyam bangku kuliah. Membangun bangsa dengan pengetahuan. Bukan menjadai antek penguasa lewat iming iming uang jajan.
Harris Malikus M
Mahasiswa Jurusan Sejarah
Tidak ada komentar:
Posting Komentar