Rabu, 01 September 2010

Cerita Aku dan "Gie"


Beberapa waktu yang lalu aku menonton film “GIE” yang di sutradarai oleh Riri Riza dan di yang dibintangi oleh Nicholas Saputra. Film yang menceritakan tentang perjuangan seorang mahasiswa akan idealismenya, yang ”berteriak” untuk rakyatnya. Setelah saya menonoton film GIE hal pertama yang ada dalam kepala saya adalah ”apakah benar begitu?”, dan yang aku lakukan adalah mencari kebenaran diatas kebenaran. Bagiku film itu adalah secercah kesenangan yang utopis dari seorang mahasiswa penganut absolout idea. Bagiku sosok GIE adalah seorang mahasiswa yang idealis dan terlihat ’sedikit” egois.

GIE adalah merupakan sebuah fenomena ”besar” dari sebuah fenomena besar didalam sejarah gerakan kepemudaan di Indonesia terutama gerakan Mahasiswa, dimana GIE adalah seorang tokoh yang mewakili gerakan pemuda pasca angkatan 45 (angkatan 66),… tetapi ada suatu fenomena menarik dan kontroversial dari GIE, yaitu sebenarnya bagaimana pola perjuangan dari Soe Hok Gie sendiri, apakah ia seorang Sosialis, Marxist/Komunis???. Pada proses awal GIE melawati masa kecil dengan kesendirian dan dunianya. Prinsip hidupnya yang lebih baik ”terkucilkan” sebenarnya secara tak langsung telah membentuk kepribadian yang egois dan tak percaya pada orang lain. Bahkan sikap itu tak ia lepaskan sampai dia lulus SMA.

Disamping itu Gie merupakan sosok manusia yang memiliki jiwa humanisme meskipun terkadang, ia merasa bahwa ia adalah manusia special di antara manusia lainnya. Jika kita lihat pada alur film GIE, Soe Hok Gie senang membaca buku berbau ”keKirian”, seperti misalnya buku ”Marx and Engels on Religius”. Secara tak langsung Gie memahami apa itu konsep marsist dan hidup dengan kolektivitas. Tetapi seperti penjelasan yang diatas apakah pola perjuangan dan bendera ideologisnya tak ada yang tahu. Jika dilihat pada pertengahan film itu sosok Gie tidak lah memihak pada ”Kiri atau Kanan” pada saat itu. Dia berkata bahwa dia seorang netral. Tetapi mengapa ketika keadaan tengah genting dan terdesak (66) Gie merangkak ke arah ”Kanan”, dan bersama ABRI membentuk persekutuan.

Apakah Gie yang gemar berbicara tentang politik tidak tahu akan arti politik?, tidaklah mungkin itu. Dari prilaku Gie yang seperti itu yang saya tangkap adalah sifat Gie yang munafik dan tak mudah untuk menghadapi kekurangan, sikap yang dimiliki oleh manusia pada umumnya. Pada saat Gie mulai merapat ke arah ”Kanan” dia mempunyai sebuah alasan, alasannya adalah ia berharap ”dengan ABRI memegang kekuasaan maka keadaan rakyat dapat berubah”. Tetapi kenyataannya ia telah membangkitkan setan yang sdang tertidur yang berkuasa selama tiga puluh dua tahun. Rezim diktator militerisme yang lebih parah dan busuk dari sebelumnya.

Di atas aku berkata bahwa Gie adalah seorang yang Absolout idea (Hegelian). Gie memang mengetahui dan memahami ajaran-ajaran Marx dan Engels, bahkan Gandhi. Tetapi sikap dan prilakunya bagiku Gie tak lebih dari seorang Hegelian yang menganut absolout idea secara tak langsung atau kasarnya adalah seorang Marxisme murtad. Sifatnya yang tak berpihak dan ego, membuatnya terperangkap dalam pikirannya sendiri. Baginya kebenaran adalah dirinya dan pengetahuan juga hanya ada dalam dirinya. Bukan sosok yang mudah menerima tentang kebenaran yang di bawa oleh orang lain. Sungguh bertolak dengan apa yang dia pelajari, memperkosa nilai Marxisme. Selain itu pada awal mulanya Gie juga penganut paham Pesimisme. Hal ini tercermin dalam setiap tulisan-tulisannya.

Sebelum dia meninggal pada bulan Desember 1969, ada satu hal yang pernah dia bicarakan dengan saya. Dia berkata, "Akhir-akhir ini saya selalu berpikir, apa gunanya semua yang saya lakukan ini. Saya menulis, melakukan kritik kepada banyak orang yang saya anggap tidak benar dan yang sejenisnya lagi. Makin lama, makin banyak musuh saya dan makin sedikit orang yang mengerti saya. Toh, kritik-kritik saya tidak mengubah keadaan. Jadi, apa sebenarnya yang saya lakukan? Saya ingin menolong rakyat kecil yang tertindas, tapi kalau keadaan tidak berubah, apa gunanya kritik-kritik saya? Apa ini bukan semacam onani yang konyol? Kadang-kadang saya merasa sungguh-sungguh kesepian".

Untuk penutup tulisan saya kita renungkan kembali perkataan dari Socrates yang di kutip oleh Gie....
“Nasib terbaik adalah tidak dilahirkan, yang kedua dilahirkan tapi mati muda, dan yang tersial adalah umur tua. Bahagialah mereka yang mati muda.”. dan berakhirlah cerita mahasiswa Idealis yang tersesat dalam dirinya sendiri.

aku. .

1 komentar:

  1. "LEBIH BAIK DIASINGKAN,DARIPADA MENYERAH PADA KMUNAFIKAN".

    BalasHapus