Jumat, 06 Agustus 2010

Pendidikan berbasis kapitalis tak berkualitas mematikan rasa “memanusiakan manusia”


Seminggu yang lalu kulkas dirumah saya rusak. Suhu lemari pendingin itu tak bisa saya atur sebagaimana mestinya. Bapak saya yang gemar minum air dingin jadi gemas mendapati kulkas kesayangaannya rusak. Beliau memanggil tukang servis kulkas ke rumah. Pria itu mungkin usianya sama dengan Bapak saya.
Sambil membetulkan, dia mulai bercerita. Dari mulai membandingkan mesin kulkas zaman dahulu dengan sekarang, hingga pemerintahaan. Aku sempat terdiam ketika mendengarnya berbicara begini, “Pemerintah zaman SBY itu semua serba mahal terus juga banyak masalah. Rakyat kecil makin kecil. Banyak gas bocor. Untung rakyat banyak yang teriak, nunggu ada korban dulu baru bertindak,” ujarnya dengan logat khas batak.
Tambahnya lagi, SBY hanya sedang menggali harta sebelum pensiun, dia tak mau mempersoalkan yang lain-lain yang penting posisinya selalu aman. Makanya kasus century tak akan membawa perubahan dikalangan pemerintah. Dari sini saya bisa melihat bahwa persoalan apapun yang terjadi saat ini sungguh besar imbasnya tak peduli dari kalangan apapun yang pasti hal ini dapat menggugah kesadaran semu yang selama ini terpendam akibat orde baru. Pendapatannya yang semakin pas-pasan karena harga-harga mulai naik mengubah cara berpikirnya. Terkadang kita yang merasa pendidikan dan hidupnya sudah layak selalu meremehkan orang seperti ini. Memasuki abad 21 ini, seiring perkembangan teknologi maka perkembangan cara manusia saat ini cenderung radikal. Tema-tema demokrasi yang selalu dijunjung makin naik pamor. Semua orang bisa teriak sekencang-kencangnya. Tapi rasanya pemerintahan saat ini sudah tuli karena disumpal uang.
Suatu saat ketika suara sudah tak lagi didengar, jangan heran jika kejadian-kejadian 98’ akan terulang. Perlu diingat “Mereka (semua orang tak perduli berasa dari kalangan apapun) merasakannya loh!”. Kesadaraan itu perlahan muncul seiring banyaknya kebijakan-kebijakan yang tak berpihak kepada mereka. Walaupun masih dalam lingkup mengharapkan ekonomi perjuangan yang bisa meringankan hidupnya.
Saat ini mereka dibutakan oleh sistem pendidikan “robot”. Sisa-sisa NKK/BKK terus dilestarikan dengan metode-metode baru. Mahasiswa terkungkung dengan apa yang mereka terima dibangku kuliah. Pendidikan didesa-desa hanya sebatas pengetahuan umum dan dijauhkan dari budaya lokal. Menciptakan “Mafia Berkeley” baru yang tak cinta tanah air yang ketika pulang kedalam negeri menjadi “penindas-penindas baru” karena bangga akan ilmunya. Saya teringat ucapan temannya saya, “Tuhan menciptakan pria dan wanita, dan semua orang pada dasarnya sama. Tapi Tuhan tak menciptakan orang malas dan pintar, rajin atau bodoh karena semua itu dibentuk dari apa yang mereka terima”. Persis seperti halnya pendidikan saat ini. Menciptakan “Robot” baru yang tak punya perasaan dan kesadaran akan kehidupannya sebagai manusia. Menciptakan “budak-budak” baru dalam dunia pekerjaan atau “pemeras-pemeras kecil“ yang meresahkan rakyat. Tak heran rakyat Indonesia masih terkungkung cara berpikir yang salah, orang miskin tak boleh sekolah, orang miskin tak boleh sakit karena terlalu mahalnya “hidup layak” dinegara ini.
Tapi rasanya kita mulai berbangga bahwa kesadaran itu masih ada. Tinggal bagaimana ada sosok yang bisa membawa dan meluruskan jalan rakyat untuk menyampaikan aspirasinya kepada pemerintah. Untuk mewujudkan perubahan social juga diperlukan sosok “superhero” untuk memimpin rakyat. Sebagai mahasiswa, ini merupakan tanggungjawab yang wajib diselesaikan. Seperti yang terkandung dalam salah satu Tri Dharma Pendidikan, yang salah satu nya pengabdian pada masyarakat.
Banyak pembesar dinegara ini, tapi tak ada sosok pemimpin yang dapat memimpin masyarakat. Bukan reformasi lagi yang bisa diharapkan, tapi sebuah revolusi. Mahasiswa yang katanya sebagai intelektual muda harusnya bisa melakukan itu. Tapi dengan bentukan sistem pendidikan yang sekarang apakah bisa?!

oleh rizki rakita*

mahasiswi pendidikan bahasa dan sastra jepang 2009
- simpatisan Forum Diskusi Gerak Sejarah

Tidak ada komentar:

Posting Komentar